Selasa, 10 Juni 2008

Minangkabau

BAB I

Dasar Pokok Adat Minangkabau

A. Ciri dan Adat Orang Minang

1. Aman dan Damai

Bila dipelajari dengan seksama pepatah-pepatah adat Minang, serta fakta-fakta yang hidup dalam masyarakat seperti masalah perkawinan,sistem kekerabatan, kedudukan tanah pusaka tinggi, peranan mamak dan penghulu,kiranya kita dapat membaca konsep-konsep hidup dan kehidupan yang ada dalam pikiran nenek-moyang kita.

Dari konsep-konsep hidup dan kehidupan itu,kita juga dapat memastikan tujuan hidup yang ingin dicapai oleh nenek-moyang kita.

Tujuan hidup itu adalah:

BUMI SANANG PADI MANJADI

TARANAK BAKAMBANG BIAK

Rumusan menurut ada Minang ini, agaknya sama dengan masyarakat yang aman damai makmur ceria dan berkah,seperti diidamkan oleh ajaran Islam yaitu”Baldatun Taiyibatun wa Robbun Gafuur”. Suatu masyarakat yang aman damai dan selalu dalam penmgampunan Tuhan.

Dengan adanya kerukunan dan kedamaian dalam lingkungan kekerabatan, barulah mungkin diupayakan kehidupan yang lebih makmur. Dengan bahasa kekinian dapat dikatakan bila telah tercapai stabilitas politik, barulah kita mungkin melaksanakan pembangunan ekonomi.

2. Masyarakat nan “Sakato”

Kalau tujuan akan dicapai sudah jelas, yaitu suatu masyarakat yang aman damai makmur dan berkah , maka kini tinggal bagaimana cara yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan itu. Kondisi yang bagaimana yang harus diciptakan. Menurut ketentuan adat Minang, tujuan itu akan dapat dicapai bila dapat disiapkan prasarana dan sarana yang tepat. Yang dimaksud dengan prasarana disini adalah manusia-manusia pendukung adat Minang, yang mempunyai sifat dan watak seperti diuraikan diatas.

Manusia dengan kualitas seperti itulah yang diyakini adat Minang yang akan dapat membentuk suatu masyarakat yang akan diandalkan sebagai sarana (wahana) yang akan membawa kepada tujuan yang diidam-idamkan yaitu suatu masyarakat yang aman damai makmur dan berkah. Suatu Baldatun Taiyibatun Wa Robbun Gafuur. Corak masyarakat idaman menurut kacamata adat Minang adalah masyarakat nan “sakato”.

3. Unsur-unsur Masyarakat nan sakato

Terdapat 4 unsur yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat untuk dapat membentuk masyarakat nan sakato. Sakato artinya sekata-sependapat-semufakat. Keempat unsur itu adalah:

a. Saiyo Sakato

Menghadapi suatu masalah atau pekerjaan, akan selalu terdapat perbedaan pandangan dan pendirian antar orang satu dengan yang lain sesuai dengan yang lain dengan pepatah “kapalo samo hitam, pikiran ba lain-lain”. Perbedaan pendapat semacam ini adalah sangat lumrah dan sangat demokratis. Namun kalau dibiarkan berlanjut, maka akan berakibat masalah itu takkan terselasaikan. Pekerjaan itu akan terkatung-katung. Karena itu harus selalu dicari jalan keluar. Jalan keluar yang ditunjukkan adat Minang adalah melakukan musyawarah untuk mufakat, bukan musyawarah untuk melanjutkan pertengkaran. Keputusan boleh bulat (aklamasi) tapi boleh juga gepeng atau picak (melalui voting).

Adat Minang tidak mengenal istilah “Sepakat untuk tidak se-Mufakat”. Bagaimana proses keputusan diambil, namun setelah ada kata mufakat maka keputusan itu harus dilaksanakan oleh semua pihak. Keluar kita tetap utuh dan tetap satu. Setiap individu Minang disarankan untuk selalu menjaga hubungan dengan lingkungannya. Adat Minang tidak terlalu memuja kemandirian (privacy) menurut ajaran individualisme barat. Adat Minang mengajarkan supaya membiasakan berembuk dengan lingkungan kendatipun menyangkut masalah pribadi. Dengan demikian adat Minang mendorong orang Minang lebih mengutamakan “kebersamaan” kendatipun menyangkut urusan pribadi.

Kendatipun seorang individu Minang menduduki posisi sebagai penguasa seperti dalam kedudukan mamak-rumah atau pun Penghulu Andiko maka keputusan tidak mungkin juga diambil sendiri. Karena itu sikap otoriter tidak pernah disukai rang-orang Minang.

Adat Minang sangat mendambakan persatuan dan kesatuan dalam masyarakat Minang. Orang Minang yakin tanpa persatuan dan kesatuan itu akan menjauhkan mereka dari tujuan masyarakat yang ingin dicapai. Mereka memahami pula dalam hidup berkelompok dalam masyarakat akan selalu terdapat silang selisih, marah dan sengketa akan selalu terjadi. Antara sanduak dan periukpun tak pernah sunyi akan selalu ada kegaduhan. Namun demikian orang Minang mempunyai dasar filosofi yang kuat untuk mengatasinya.

Adat Minang akan selalu mencoba memelihara komunikasi dan kemungkinan berdialog. Karena dengan cara itu segala masalah akan selalu dapat dipecahkan melalui musyawarah. Orang Minang menganggap penyelesaian masalah diluar musyawarah adalah buruk. Dalam mencapai kata sepakat kadangkala bukanlah hal yang mudah. Karena itu memerlukan kesabaran, ketabahan dan kadangkala terpaksa menguras tenaga. Namun demikian musyawarah tetap diupayakan.

b. Sahino Samalu

Kehidupan kelompok sesuku sangat erat. Hubungan individu sesama anggota kelompok kaum sangat dekat. Mereka bagaikan suatu kesatuan yang tunggal-bulat. Jarak antara “kau dan aku” menjadi hampir tidak ada. Istilah “awak” menggambarkan kedekatan ini. Kalau urusan yang rumit diselesaikan dengan cara “awak samo awak”, semuanya akan menjadi mudah. Kedekatan hubungan dalam kelompok suku ini, menjadikan harga diri individu, melebur menjadi satu menjadi harga diri kelompok suku.

Kalau seseorang anggota suku diremehkan dalam pergaulan, seluruh anggota suku merasa tersinggung. Begitu juga bila suatu suku dipermalukan maka seluruh anggota suku itu akan serentak membela nama baik sukunya.

c. Anggo Tanggo

Unsur ketiga yang dapat membentuk masyarakat nan sakato, adalah dapat diciptakannya pergaulan yang tertib serta disiplin dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat dituntut untuk mematuhi aturan dan undang-undang, serta mengindahkan pedoman dan petunjuk yang diberikan penguasa adat.

Dalam pergaulan hidup akan selalu ada kesalahan dan kekhilafan. Kesalahan dan kekhilafan itu harus diselesaikan sesuai aturan. Dengan demikian ketertiban dan ketentraman akan selalu terjaga.

d. Sapikua Sajinjiang

Dalam masyarakat yang komunal, semua tugas menjadi tanggungjawab bersama. Sifat gotong royong menjadi keharusan. Saling membantu dan menunjang merupakan kewajiban. Yang berat sama dipikul yang ringan sama dijinjing. Kehidupan antara anggota kaum, bagaikan aur dengan tebing, saling bantu membantu, saling dukung mendukung.

Dengan masyarakat nan sakato ini diharapkan akan dapat dicapai tujuan hidup dan kehidupan orang Minang sesuai konsep yang diciptakan nenek moyang orang Minang.

BUMI SANANG PADI MANJADI

PADI MASAK JAGUNG MAUPIA

ANAK BUAH SANANG SANTOSA

TARANAK BAKAMBANG BIAK

BAPAK KAYO MANDE BATUAH

MAMAK DISAMBAH URANG PULO

2. Nilai-nilai Dasar Adat Minangkabau

Sebuah nilai adalah sebuah konsepsi , eksplisit atau implisit yang menjadi milik khusus seorang atau ciri khusus suatu kesatuan sosial (masyarakat) menyangkut sesuatu yang diingini bersama (karena berharga) yang mempengaruhi pemilihan sebagai cara, alat dan tujuan sebuah tindakan.Nilai nilai dasar yang universal adalah masalah hidup yang menentukan orientasi nilai budaya suatu masyarakat, yang terdiri dari hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat kehidupan manusia dalam ruang waktu, hakekat hubungan manusia dengan alam, dan hakekat hubungan manusia dengan manusia.

a. Pandangan Terhadap Hidup

Tujuan hidup bagi orang Minangkabau adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang Minangkabau mengatakan bahwa “hiduik bajaso, mati bapusako”. Jadi orang Minangkabau memberikan arti dan harga yang tinggi terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam, maka pribahasa yang dikemukakan adalah :

Gajah mati maninggakan gadieng

Harimau mati maninggakan baling

Manusia mati maninggakan namo

Dengan pengertian, bahwa orang Minangkabau itu hidupnya jangan seperti hidup hewan yang tidak memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan setelah mati. Karena itu orang Minangkabau bekerja keras untuk dapat meninggalkan, mempusakakan sesuatu bagi anak kemenakan dan masyarakatnya. Mempusakakan bukan maksudnya hanya dibidang materi saja, tetapi juga nilai-nilai adatnya. Oleh karena itu semasa hidup bukan hanya kuat mencari materi tetapi juga kuat menunjuk mengajari anak kemenakan sesuai dengan norma-norma adat yang berlaku. Ungkapan adat juga mengatakan “Pulai batingkek naiek maninggakan rueh jo buku, manusia batingkek turun maninggakan namo jo pusako”.

Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya ataupun keluarganya. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang Minangkabau

Nilai hidup yang baik dan tinggi telah menjadi pendorong bagi orang Minangkabau untuk selalu berusaha, berprestasi, dinamis dan kreatif.

b. Pandangan Terhadap Kerja

Sejalan dengan makna hidup bagi orang Minangkabau, yaitu berjasa kepada kerabat dan masyarakatnya, kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan keharusan. Kerjalah yang dapat membuat orang sanggup meninggalkan pusaka bagi anak kemenakannya. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan “Hilang rano dek panyakik, hilang bangso indak barameh”(hilang warna karena penyakit, hilsng bangsa karena tidak beremas). Artinya harga diri seseorang akan hilang karena miskin, oleh sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya.

Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya atau keluarganya. Banyaknya seremonial adat itu seperti perkawinan membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang Minangkabau disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh fatwa adat sbb:

Kayu hutan bukan andaleh Kayu hutan bukan andalas

Elok dibuek ka lamari Elok dibuat untuk lemari

Tahan hujan barani bapaneh Tahan hujan berani berpanas

Baitu urang mancari rasaki Begitu orang mencari rezeki

Dari etos kerja ini, anak-anak muda yang punya tanggungjawab di kampung disuruh merantau. Mereka pergi merantau untuk mencari apa-apa yang mungkin dapat disumbangkan kepada kerabat dikampung, baik materi maupun ilmu. Misi budaya ini telah menyebabkan orang Minangkabau terkenal dirantau sebagai makhluk ekonomi ulet.

Etos kerja keras yang sudah merupakan nilai dasar bagi orang Minangkabau ditingkatkan lagi oleh pandangan ajaran Islam yang mengatakan orang harus bekerja keras seakan-akan dia hidup untuk selama-lamanya, dia harus beramal terus seakan-akan dia akan mati besok.

c. Pandangan Terhadap Waktu

Bagi orang Minangkabau waktu berharga merupakan pandangan hidup orang Minangkabau. Orang Minangkabau harus memikirkan masa depannya dan apa yang akan ditinggalkannya sesudah mati. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan waktu untuk maksud yang bermakna, sebagaimana dikatakan “Duduak marauik ranjau, tagak maninjau jarah”.

Dimensi waktu, masa lalu, masa sekarang, dan yang akan datang merupakan ruang waktu yang harus menjadi perhatian bagi orang Minangkabau. Maliek contoh ka nan sudah. Bila masa lalu tidak menggembirakan dia akan berusaha untuk memperbaikinya. Duduk meraut ranjau, tegak meninjau jarak merupakan manifestasi untuk mengisi waktu dengan sebaik-baiknya pada masa sekarang. Membangkit batang terandam merupakan refleksi dari masa lalu sebagai pedoman untuk berbuat pada masa sekarang. Sedangkan mengingat masa depan adat berfatwa “bakulimek sabalun habih, sadiokan payuang sabalun hujan”.

d. Hakekat Pandangan Terhadap Alam

Alam Minangkabau yang indah, bergunung-gunung, berlembah, berlaut dan berdanau, kaya dengan flora dan fauna telah memberi inspirasi kepada masyarakatnya. Mamangan, pepatah, petitih, ungkapan-ungkapan adatnya tidak terlepas daripada alam.

Alam mempunyai kedudukan dan pengaruh penting dalam adat Minangkabau, ternyata dari fatwa adat sendiri yang menyatakan bahwa alam hendaklah dijadikan guru.

Yang dimaksud dengan adat nan sabana adat adalah yang tidak lapuak karena hujan dan tak lekang karena panas biasanya disebut cupak usali, yaitu ketentuan-ketentuan alam atau hukum alam, atau kebenarannya yang datang dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu adat Minangkabau falsafahnya berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam alam, maka adat Minangkabau itu akan tetap ada selama alam ini ada.

e. Pandangan Terhadap Sesama

Dalam hidup bermasyarakat, orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai egaliter atau kebersamaan. Nilai ini menyatakan mereka dengan ungkapan “Duduak samo randah, tagak samo tinggi”.

Dalam kegiatan yang menyangkut kepentingan umum sifat komunal dan kolektif mereka sangat menonjol. Mereka sangat menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Hasil mufakat merupakan otoritas yang tertinggi.

Kekuasaan yang tertinggi menurut orang Minangkabau bersifat abstrak, yaitu nan bana (kebenaran). Kebenaran itu harus dicari melalui musyawarah yang dibimbing oleh alur, patut dan mungkin. Penggunaan akal sehat diperlukan oleh orang Minangkabau dan sangat menilai tinggi manusia yang menggunakan akal. Nilai-nilai yang dibawa Islam mengutamakan akal bagi orang muslim, dan Islam melengkapi penggunaan akal dengan bimbingan iman. Dengan sumber nilai yang bersifat manusiawi disempurnakan dengan nilai yang diturunkan dalam wahyu, lebih menyempurnakan kehidupan bermasyarakat orang Minangkabau.

Menurut adat pandangan terhadap seorang diri pribadi terhadap yang lainnya hendaklah sama walaupun seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling berbeda. Walaupun berbeda saling dibutuhkan dan saling membutuhkan sehingga terdapat kebersamaan. Dikatakan dalam mamangan adat “Nan buto pahambuih lasuang, nan pakak palapeh badie, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuek pambaok baban, nan binguang kadisuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang. Hanya fungsi dan peranan seseorang itu berbeda dengan yang lain, tetapi sebagai manusia setiap orang itu hendaklah dihargai karena semuanya saling isi mengisi. Saling menghargai agar terdapat keharmonisan dalam pergaulan, adat menggariskan “nan tuo dihormati, samo gadang baok bakawan, nan ketek disayangi”. Kedatangan agama Islam konsep pandangan terhadap sesama dipertegas lagi.

Nilai egaliter yang dijunjung tinggi oleh orang Minangkabau mendorong mereka untuk mempunyai harga diri yang tinggi. Nilai kolektif yang didasarkan pada struktur sosial matrilinial yang menekankan tanggungjawab yang luas seperti dari kaum sampai kemasyarakatan nagari, menyebabkan seseorang merasa malu kalau tidak berhasil menyumbangkan sesuatu kepada kerabat dan masyarakat nagarinya. Interaksi antara harga diri dan tuntutan sosial ini telah menyebabkan orang Minangkabau untuk selalu bersifat dinamis.

(Sumber : Adat Minangkabau - Sejarah & Budaya)

2. Pembagian Alam Minangkabau

Minangkabau dibagi atas tiga luhak (daerah)

. a. Luhak Tanah Datar

Sifatnya : airnya jernih, ikannya jinak, buminya dingin.

Luhak Tanah Datar terbagi kepada 3 bagian yaitu :

Lima Kaum 12 Koto

Sungai Tarab 8 Batur

Batipuh 10 Koto

Yang asal ialah Lima Kaum. Kemudian berkembang menjadi koto dan ada sembilan koto didalamnya. Yang dinamakan 12 koto ialah : Ngungun, Panti, Cubadak, Sipanjang, Pabalutan, Sawah Jauh, Rambatan, Padang Magek, Labuh, Parambahan, Tabek dan Sawah Tangah. Sembilan pula koto didalamnya yakni : Tabek Boto, Galogandang, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukit Gombak, Sungai Ameh, Tanjung Barulak dan Rajo Dani.

Yang masuk Sungai Tarab adalah : Koto Tuo, Pasir Laweh, Koto Panjang, Selo, Sumanik, Patih, Situmbuk, Gurun, Ampalu, Sijangat, Koto Badamping. Kemudian Sungai Tarab dinamai Sungai Tarab Delapan Batur (asalnya atur) yang berekor berkepala, yang berkopak berambai empat dikiri dan empat dikanan. Tanjung Sungayang membuat pula dusun sekelilingnya : Andalas, Barulak, Talago, Sungai Patai, Sungayang, Sawah Liat, dan Koto Ranah.

Tanjung Sungayang dengan Nan Tujuh Koto dinamai Permata Diatas Emas. Negeri ini dinamai juga bertanjung yang tiga dan berluhak yang tiga. Tanjung yang tiga yaitu dikepalai Tanjung Alam, ditengah Sungayang dan diekornya Tanjung Talawi.

Yang dinamakan Batipuh 10 Koto ialah : Pariangan Padang Panjang, Jaho, Tambangan, Koto Lawas, Pandai Sikek, Sumpur, Malalo, Gunung dan Paninjauan. Yang menjadi batas luhak Tanah Datar ialah dari mudik mulai Tarung-tarung (Solok) sampai ke hilirnya sehingga Talang Danto (Sijunjung).

b. Luhak Agam

Sifatnya : airnya keruh, ikannya liar dan buminya hangat Luhak Agam memakai adat Koto Piliang dan adat Bodi Caniago. Yang memegang adat Koto Piliang dahulu pemimpinnya Datuk Bandaro Panjang berkedudukan di Biaro. Adat Bodi Caniago dahulu pemimpinnya Datuk Bandaro Kuning tempatnya di Tabek Panjang, Baso.

Yang masuk adat Datuk Ketemanggungan adalah 16 koto terkandung didalamnya yaitu : Sianok, Koto Gadang, Guguk, Tabek Sarojo, Sarik, Sungai Puar, Batagak, Batu Palano, Lambah, Panampung, Biaro, Balai Gurah, Kamang Bukit, Salo, Magek.

Daerah itulah yang dinamakan Ampat Angkat atau empat-empat mereka sama-sama berangkat. Disana tidak ada penghulu yang bergelar pucuk.

Selain dari yang 16 koto itu semuanya beradat Bodi Caniago atau adat Datuk Perpatih nan Sebatang. Yang masuk daerah ini adalah : Kurai, Banuhampu, Lasi, Bukit Batabuh, Kubang Putih, Koto Gadang, Ujung Guguk, Candung, Koto Lawas, Tabek Panjang, Sungai Janiah, Cingkaring, Padang Luar dll. Semua kebesaran dinegeri ini memakai pucuk.

Adapun tapal batas luhak Agam ialah : dari Lada Sula (Koto Baru) sampai kehilirnya Dusun Tinggal (Titi Padang Tarab) tempat empangan air proyek PLTA Batang Agam pada zaman sekarang.

c. Luhak Lima Puluh Kota

Sifatnya : airnya manis sejuk, ikannya jinak dan buminya sejuk

Luhak Lima Puluh Kota terbagi atas 3 jenis daerah : Luhak, ranah dan kelarasan. Yang dinamakan Luhak ialah pemerintahan laras nan buntar sehingga Simalanggang hilir terus ke Taram. Yang dinamakan ranah yakni pemerintahan Laras Batang Sinamar sehingga Simalanggang mudik dan kehilirnya ranah Tebing Tinggi dan kemudiknya Mungkar. Yang dinamakan laras ialah Laras nan Panjang hingga Taram Hilir kemudiknya Pauh Tinggi.

Yang masuk bagian luhak adalah: Suayan, Sungai Belantik, Sarik Lawas, Tambun Ijuk, Koto Tangah, Batu Hampar, Durian Gadang, Babai, Koto Tinggi, Air Tabit, Sungai Kemuyang Situjuh Bandar Dalam, Limbukan Padang Kerambil, Sicincin dan Aur Kuning, Tiakar, Payobasung, Mungo, Andalas, Taram, Bukit Limbuku, Batu Balang dan Koto nan Gadang.

Yang termasuk ranah ialah Ganting, Koto Lawas, Suliki, Sungai Rimbang, Tiakar, Balai Mansiro, Talago, Balai Talang, Balai Kubang, Taeh Simalanggang, Piobang, Sungai Baringin, Gurun, Lubuk Batangkap, Tarantang, Sarilamak, Harau, Solok Bio.-bio (Padang Lawas). Yang dinamakan Laras adalah : Gadut Tebingtinggi, Sitanang Muaro Likin, Halaban dan Ampalu, Surau dan Labuh Gunung.

d. Sifat Pribadi Minang

Salah satu tujuan adat pada umumnya, adat Minang pada khususnya adalah membentuk individu yang berbudi luhur, manusia yang berbudaya, manusia yang beradab.Dari manusia-manusia yang beradab itu diharapkan akan melahirkan suatu masyarakat yang aman dan damai, sehingga memungkinkan suatu kehidupan yang sejahtera dan bahagia, dunia dan akhirat. Suatu Baldatun Toiyibatun wa Rabbun Gafuur. Suatu masyarakat yang aman dan damai dan selalu dalam lindungan Tuhan.Untuk mencapai masyarakat yang demikian, diperlukan manusia-manusia dengan sifat-sifat dan watak tertentu. Sifat-sifat yang ideal itu menurut adat Minang antaranya sebagai berikut :

a). Hiduik Baraka, baukue jo bajangka artinya hidup berpikir, berukur dan berjangka

Dalam menjalankan hidup dan kehidupan orang Minang dituntut untuk selalu memakai akalnya. Berukur dan berjangka artinya harus mempunyai rencana yang jelas dan perkiraan yang tepat.

Kelebihan manusia dari binatang adalah tiga alat vital yang mempunyai kekuatan besar bila dipakai secara tepat dalam menjalankan hidupnya. Ketiga alat tersebut adalah otak, otot dan hati. Pengertian peningkatan sumber daya manusia tidak lain dari mengupayakan sinergi ketiga kekuatan itu untuk memperbaiki hidup dan kehidupannya.

Dengan mempergunakan akal pikiran dengan baik, manusia antara lain akan selalu waspada dalam hidup, seperti dalam pepatah berikut :

Dalam mulo akhie mambayang Dalam awal akhir terbayang

Dalam baiak kanalah buruak Dalam baik ingatlah buruk

Dalam galak tangieh kok tibo Dalam tawa tangis menghadang

Hati gadang hutang kok tumbuah Hati ria hutang tumbuh

Dengan berpikir jauh kedepan kita dapat meramalkan apa yang bakal terjadi, sehingga tetap selalu waspada.

Alun rabah lah ka ujuang Belum rebah sudah keujung

Alun pai lah babaliak Belum pergi sudah kembali

Alun di bali lah bajua Belum dibeli sudah dijual

Alun dimakan lah taraso Belum dimakan sudah terasa

Didalam merencanakan sesuatu pekerjaan, dipikirkan lebih dahulu sematang-matangnya dan secermat-cermatnya. Pendek kata dibuat rencana yang mantap dan terinci.

Dihawai sahabih raso Diraba sehabis rasa

Dikaruak sahabih gauang Dijarah sehabis lobang

Dalam melaksanakan sesuatu pekerjaan, perlu dilakukan sesuai dengan urutan prioritas yang sudah direncanakan, seperti kata pepatah :

Mangaji dari alif Mengaji dari alif

Babilang dari aso Berhitung dari satu

Dalam melakukan sesuatu, haruslah mempunyai alasan yang masuk akal dan bisa dipertanggungjawabkan. Jangan asal berbuat tanpa berpikir.

Mancancang balandasan Mencencang berlandasan

Malompek basitumpu Melompat bersitumpu

Dalam melaksanakan suatu tugas bersama, atau dalam suatu organisasi kita tak mungkin berjalan sendiri-sendiri. Salah satu kelemahan orang Minang adalah kebanyakan mereka menderita penyakit “Excessive Individualisme”, penyakit susah diatur, merasa lebih super dari orang lain, k arenanya dihinggapi penyakit “pantang taimpik”.

Struktur organisasi dipenghujung abad ke XX ini, baik organisasi pemerintah, angkatan bersenjata, organisasi sosial, maupun organisasi perusahaan mempunyai struktur piramida, lancip ke atas.

Struktur organisasi yang semacam ini, memaksa orang-orang dalam formasi yang berlanggo-langgi, atau bertingkat-tingkat. Ada yang disebut bawahan dan ada atasan, ada yang memerintah dan ada pula yang harus menjalankan perintah. Orang Minang kebanyakan belum dapat menyesuaikan diri dengan pola kemasyarakatan yang baru ini. Apalagi bila dalam organisasi itu hanya balego awak samo awak. Dalam kondisi yang demikian, akan berlaku pameo “Iyo kan nan kato beliau, tapi lakukan nan diawak”. Inilah agaknya salah satu sebab kenapa dipenghujung abad XX ini orang-orang Minang sudah jarang yang menonjol dipentas nasional. Kalau ada yang menonjol satu dua, maka yang duduk menjadi bawahannya, mungkin sekali bukan orang Minang. Mari kita koreksi diri kita masing-masing dan mari kita pelajari kembali ajaran adat kita yang berbunyi sbb :

Bajalan ba nan tuo Berjalan dengan yang tua

Balayie ba nakhodo Berlayar ber-nakhoda

Bakata ba nan pandai Berkata dengan yang pandai

Pepatah diatas mengisyaratkan bahwa nenek moyang kita lebih memahami pola organisasi modern dibandingkan kita. Renungkanlah.

Masih bayak diantara kita yang belum punya cita-cita hidup. Tidak tahu apa yang ingin dicapai dalam hidup ini. Namun ada juga yang punya cita-cita , tetapi tidak tahu bagaimana cara yang harus ditempuh untuk mencapai cita-cita itu.

Nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu sudah tahu apa yang ingin dicapainya dalam hidup ini, dan sudah tahu pula cara apa yang harus ditempuh untuk mencapai cita-cita itu. Cobalah kita cermati pepatah berikut

Nak kayo kuek mancari Ingin kaya, bekerja keraslah

Nak tuah bertabur urai Ingin tuah, bertabur hartalah

Nak mulie tapeki janji Ingin mulia, tepati janji

Nak namo tinggakan jaso Ingin nama, berjasalah

Nak pandai kuek baraja Ingin pandai, rajinlah belajar

Salah satu syarat untuk bisa diterima dalam pergaulan ialah bila kita dapat membaca perasaan oang lain secara tepat. Dalam zaman modern hal ini kita kenal dengan ilmu empathi, yaitu dengan mencoba mengandaikan kita sendiri dalam posisi orang lain. Bila kita berhasil menempatkan diri dalam posisi orang lain, maka tidak mungkin kita akan memaksakan keinginan kita kepada orang lain. Dengan cara ini banyak konflik batin yang dapat dihindari. Pepatah mengajarkan dengan tepat sebagai berikut :

Elok dek awak Yang elok menurut kita

Katuju dek urang (Namun juga) disukai orang lain

Segala sesuatu yang munurut pikiran sendiri adalah baik, belum tentu dianggap baik pula oleh orang lain. Kacamata yang dipakai mungkin sekali berbeda, sehingga pendapatpun berbeda pula. Kepala sama hitam, pikiran berbeda-beda.

Nenek moyang orang Minang, sebelum ilmu manajemen berkembang di tanah air sejak tahun 1950-an yang lalu, telah lama meyakini bahwa “perencanaan yang matang” adalah salah satu unsur yang sangat penting untuk terlaksananya suatu pekerjaan. Pepatah berikut meyakini kita akan kebenarannya :

Balabieh ancak-ancak Berlebihan berarti ria

Bakurang sio-sio Kalau kurang sia-sia

Diagak mangko diagieh Dihitung dulu baru dibagi

Dibaliek mangko dibalah Dibalik dulu baru dibelah

Nan babarieh nan dipahek Yang dibaris yang dipahat

Nan baukue nan dikabuang Yang diukur yang dipotong

Jalan nan luruih nan ditampuah Jalan lurus yang ditempuh

Labuah pasa nan dituruik Jalan yang lazim yang dituruti

Di garieh makanan pahat Digaris makanan pahat

Di aie lapehkan tubo Di air lepaskan racun

Tantang sakik lakek ubek Ditempat yang sakit diberi obat

Luruih manantang barieh adat Lurus menentang baris adapt

b). Baso basi - malu jo sopan

Adat Minang mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Budi pekerti yang tinggi menjadi salah satu ukuran martabat seseorang. Etika menjadi salah satu sifat yang harus dimiliki oleh setiap individu Minang.

Adat Minang menyebutkan sebagai berikut :

Nana kuriak iyolah kundi Yang burik ialah kundi

Nan merah iyolah sago Yang merah ialah sega

Nan baiak iyolah budi Yang baik ialah budi

Nan indah iyolah baso Yang indah ialah basa (basi)

Kuek rumah dek basandi Kuatnya rumah karena sendi

Rusak sandi rumah binaso Rusak sendi rumah binasa

Kuek bangso karano budi Kuatnya bangsa karena budi

Rusak budi bangso binaso Rusak budi bangsa binasa

Adat Minang sejak berabad-abad yang lalu telah memastikan, bila moralitas suatu bangsa sudah rusak, maka dapat dipastikan suatu waktu kelak bangsa itu akan binasa. Akan hancur lebur ditelan sejarah. Adat Minang mengatur dengan jelas tata kesopanan dalam pergaulan. Kita tinggal mengamalkannya. Pepatah menyebutkan sebagai berikut:

Nan tuo dihormati Yang tua dihormati

Nan ketek disayangi Yang kecil disayangi

Samo gadang bawo bakawan Sama besar bawa berkawan

Ibu jo bapak diutamakan Ibu dan ayah diutamakan

Budi pekerti adalah salah satu sifat yang dinilai tinggi oleh adat Minang. Begitu pula rasa malu dan sopan santun, termasuk sifat-sifat yang diwajibkan dipunyai oleh orang-orang Minang. Pepatah Minang memperingatkan :

Dek ribuik rabahlah padi Karena ribut rebahlah padi

Di cupak Datuak Tumangguang Di cupak Datuk Tumenggung

Hiduik kok tak babudi Hidup kalau tak berbudi

Duduak tagak kamari cangguang Duduk berdiri serba canggung

Rarak kaliki dek binalu Gugur pepaya karena benalu

Tumbuah sarumpun ditapi tabek Tumbuh serumpun di tepi tebat

Kalau habih raso jo malu Kalau habis rasa dan malu

Bak kayu lungga pangabek Bagaikan kayu longgar pengikat

Kehidupan yang aman dan damai, menjadi idaman Adat Minang. Karena itu selalu diupayakan menghindari kemungkinan timbulnya perselisihan dalam pergaulan. Budi pekerti yang baik, sopan santun (basa basi) dalam pergaulan sehari-hari diyakini akan menjauhkan kita dari kemungkinan timbulnya sengketa. Budi perkerti yang baik akan selalu dikenang orang, kendatipun sudah putih tulang di dalam tanah.

Pepatah menyebutkan sbb:

Pucuak pauah sadang tajelo Pucuk pauh sedang terjela

Panjuluak bungo linggundi Penjuluk bunga linggundi

Nak jauah silang sangketo Supaya jauh silang sengketa

Pahaluih baso jo basi Perhalus basa basi (budi pekerti)

Pulau pandan jauah ditangah Pulau pandan jauh di tengah

Dibaliak pulau angso duo Dibalik pulau angsa dua

Hancua badan di kanduang tanah Hancur badan dikandung tanah

Budi baiak takana juo Budi baik terkenang juga

Nak urang koto ilalang Anak orang koto Hilalang

Nak lalu ka pakan baso Mau lewat ke pekan Baso

Malu jo sopan kok lah ilang Malu dan sopan kalau sudah hilang

Habihlah raso jo pareso Habislah rasa dan periksa

c). Tenggang raso

Perasaan manusia halus dan sangat peka. Tersinggung sedikit dia akan terluka, perih dan pedih. Pergaulan yang baik, adalah pergaulan yang dapat menjaga perasaan orang lain. Kalau sampai perasaan terluka, bisa membawa bencana. Karena itu adat mengajarkan supaya kita selalu berhati-hati dalam pergaulan, baik dalam ucapan, tingkah laku maupun perbuatan jangan sampai menyinggung perasaan orang lain. Tenggang rasa salah satu sifat yang dianjurkan adat.

Pepatah memperingatkan sebagai berikut :

Bajalan paliharo kaki Berjalan pelihara kaki

Bakato paliharo lidah Berkata pelihara lidah

Kaki tataruang inai padahannyo Kaki tertarung inai imbuhannya

Lidah tataruang ameh padahannyo Lidah tertarung emas imbuhannya

Bajalan salngkah madok suruik Berjalan selangkah, lihat kebelakang

Kato sapatah dipikia an Kata sepatah dipikirkan

Nan elok dek awak katuju dek urang

Lamak dek awak lamak dek urang

Sakik dek awak sakik dek urang

artinya :

Yang baik menurut kita, harus juga disukai orang lain

Yang enak menurut kita, harus juga enak menurut orang

Kalau sakit bagi kita, sakit pula bagi orang

d). Setia (loyal)

Yang dimaksud dengan setia adalah teguh hati, merasa senasib dan menyatu dalam lingkungan kekerabatan. Sifat ini menjadi sumber dari lahirnya sifat setia kawan, cinta kampung halaman, cinta tanah air, dan cinta bangsa. Dari sini pula berawal sikap saling membantu, saling membela dan saling berkorban untuk sesama.

Pepatah menyebutkan sbb:

Malompek samo patah Melompat sama patah

Manyarunduak samo bungkuak Menyerunduk sama bungkuk

Tatungkuik samo makan tanah Tertelungkup sama makan tanah

Tatalantang samo minun aia Tertelantang sama minun air

Tarandam samo basah Terendam sama basah

Rasok aia pulang ka aia Resapan air kembali ke air

Rasok minyak pulang ka minyak Resapan minyak kembali ke minyak

Bila terjadi suatu konflik, dan orang Minang terpaksa harus memilih, maka orang Minang akan memihak pada dunsanaknya. Dalam kondisi semacam ini, orang Minang sama fanatiknya dengan orang Inggris. Right or wrong is my country. Kendatipun orang Minang “barajo ka nan bana”, dalam situasi harus memihak seperti ini, orang Minang akan melepaskan prinsip.

Pepatah adat mengajarkan sbb:

Adat badunsanak, dunsanak patahankan
Adat bakampuang, kampuang patahankan
Adat banagari, nagari patahankan
Adat babangso, bangso patahankan
artinya :
Adat bersaudara, saudara dipertahankan
Adat berkampung, kampung dipertahankan
Adat bernegeri, negeri dipertahankan
Adat berbangsa, bangsa dipertahankan

Parang ba suku samo dilipek
Parang samun samo dihadapi
artinya
Perang antar suku sama disimpan
Perang terhadap penjahat sama dihadapi

Dengan sifat setia dan loyal semacam ini, pengusaha Minang sebenarnya lebih dapat diandalkan menghadapi era globalisasi, karena kadar nasionalismenya tidak perlu diragukan.

e). Adil

Adil maksudnya mengambil langkah sikap yang tidak berat sebelah, dan berpegang teguh pada kebenaran. Bersikap adil semacam ini, sangat sulit dilaksanakan bila berhadapan dengan dunsanak sendiri. Satu dan lain hal karena adanya pepatah adat yang lain yang berbunyi “Adat dunsanak, dunsanak dipatahankan”.

Adat Minang mengajarkan sbb :

Bakati samo barek Menimbang sama berat

Maukua samo panjang Mengukur sama panjang

Tibo dimato indak dipiciangkan Tiba dimata tidak ditutupkan

Tibo diparuik indak dikampihkan Tiba diperut tidak dikempiskan

Tibo didado indak dibusuangkan Tiba didada tidak dibusungkan

Mandapek samo balabo Mendapat sama beruntung

Kahilangan samo marugi Kehilangan sama merugi

Maukua samo panjang Mengukur sama panjang

Mambilai samo laweh Menyambung sama luas

Baragiah samo banyak Berbagi sama banyak

Gadang kayu gadang bahannyo Besar kayu besar bahannya (iuran)

Ketek kayu ketek bahannyo Kecil kayu kecil bahannya (andilnya)

Nan ado samo dimakan Yang ada sama dimakan

Nan indak samo dicari Yang tidak ada, sama dicari

Hati gajah samo dilapah Hati gajah sama disuap

Hati tungau samo dicacah Hati kuman sama dicicip (dicercah)

Gadang agiah baumpuak Yang besar dibagi beronggok

Ketek agiah bacacah Yang kecil dibagi secercah

(Kata-kata “dimata,diperut, didada dalam hal ini artinya bila masalah itu menyangkut dunsanak kita sendiri).

f. Hemat Cermat

Pepatah adat menyebutkan sbb:

Tentang Manusia

Nan buto pahambuih saluang Yang buta peniup lesung

Nan pakak palapeh badia Yang tuli pelepas bedil

Nan patah pangajuik ayam Yang patah pengusir ayam

Nan lumpuah paunyi rumah Yang lumpuh penunggu rumah

Nan binguang kadisuruah-suruah Yang dungu untuk suruh-suruhan

Nan buruak palawan karajo Yang jelek penantang kerja

Nan kuek paangkuik baban Yang kuat pengangkut beban

Nan tinggi jadi panjuluak Yang tinggi jadi galah

Nan randah panyaruduak Yang pendek penyeruduk

Nan pandai tampek batanyo Yang pandai tempat bertanya

Nan cadiak bakeh baiyo Yang cerdik tempat berunding

Nan kayo tampek batenggang Yang kaya tempat minta tolong

Nan rancak palawan dunia Yang cantik pelawan dunia

Tentang Tanah

Nan lereng tanami padi Yang lereng tanami padi

Nan tunggang tanami bamboo Yang tunggang tanami bambu

Nan gurun jadikan parak Yang gurun jadikan kebun

Nan bancah jadikan sawah Yang basah jadikan sawah

Nan padek ka parumahan Yang padat untuk perumahan

Nan munggu jadikan pandam Yang ketinggian jadikan kuburan

Nan gauang ka tabek ikan Yang berlubuk jadikan tambak ikan

Nan padang tampek gubalo Yang padat tempat gembala

Nan lacah kubangan kabau Yang berlumpur kubangan kerbau

Nan rawan ranangan itiak Yang berawa renangan itik

Tentang Kayu

Nan kuek ka tunggak tuo Yang kuat untuk tiang utama

Nan luruih ka rasuak paran Yang lurus untuk sudut paran

Nan lantiak ka bubungan Yang lentik untuk bubungan

Nan bungkuak ka tangkai bajak Yang bungkuk untuk tangkai bajak

Nan ketek ka tangkai sapu Yang kecil untuk tangkai sapu

Nan satampok ka papan tuai Yang setapak tangan untuk ani-ani

Rantiangnyo ka pasak suntiang Rantingnya untuk pasak sunting

Abunyo pamupuak padi Abunya pemupuk padi

Tentang Bambu

Nan panjang ka pambuluah Yang panjang untuk pembuluh (saluran)

Nan pendek ka parian Yang pendek untuk perian (tempat air)

Nan rabuang ka panggulai Yang rebung untuk penggulai (digulai)

Tentang Sagu

Sagunyo ka baka huma Sagunya untuk bekal ke dangau

Ruyuangnyo ka tangkai bajak Ruyungnya ke tangkai bajak

Ijuaknyo ka atok rumah Ijuknya untuk atap rumah

Pucuaknyo ka daun paisok Pucuknya untuk daun rokok

Lidinyo ka jadi sapu Lidinya untuk sapu

g. Waspada

Sifat waspada dan siaga termasuk sifat yang dianjurkan adat Minang seperti sbb :

Maminteh sabalun anyuik Memintas sebelum hanyut

Malantai sabalun lapuak Dibuat lantai baru sebelum lapuk

Ingek-ingek sabalun kanai Siaga sebelum kena (bahaya)

Sio-sio nagari alah Sia-sia negeri akan kalah

Sio-sio utang tumbuah Sia-sia hutang timbul

Siang dicaliak-caliak Siang dilihat-lihat (waspada)

Malam didanga-danga Malam didengar-dengar

h. Berani karena benar

Islam mengajarkan kita untuk mengamalkan “amal makruf, nahi mungkar” yang artinya menganjurkan orang supaya berbuat baik, dan mencegah orang berbuat kemungkaran.

Menyuruh orang berbuat baik adalah mudah. Tapi melarang orang berbuat mungkar, mengandung resiko sangat tinggi. Bisa-bisa nyawa menjadi taruhan. Untuk bertindak menghadang kemungkaran seperti ini, memerlukan keberanian.

Adat Minang dengan tegas menyatakan bahwa orang Minang harus punya keberanian untuk menegakkan kebenaran. Berani karena benar. Pepatahnya adalah sbb :

Kok dianjak urang pasupadan Kalau dipindahkan orang pematang

Kok dialiah urang kato pusako Kalau dirubah orang Adat Miang

Kok dirubah urang Kato Daulu Kalu dirubah orang Kato Dahulu

Jan cameh nyawo malayang Jangan cemas jiwa melayang

Jan takuik darah taserak Jangan takut darah menyembur

Asalkan lai dalam kabanaran Asalkan masih dalam kebenaran

Basilang tombak dalam perang Bersilang tombak dalam perang

Sabalun aja bapantang mati Sebelum ajal berpantang mati

Baribu sabab mandating Beribu sebab yang dating

Namun mati hanyo sakali Namun mati hanya sekali

Aso hilang duo tabilang Esa hilang dua terbilang

Bapantang suruik di jalan Berpantang mundur di jalan

Asa lai angok-angok ikan Asal masih nafas-nafasan ikan

Asa lai jiwo-jiwo sipatuang Asal masih jiwa-jiwanya capung

Namun nan bana disabuik juo Namun yang benar disebut juga

Sekali kato rang lalu Sekali orang berbicara lancing

Anggap angin lalu sajo Anggaplah angin lalu saja

Duo kali kato rang lalu Dua kali orang berbicara lancing

Anggap garah samo gadang Anggaplah lelucon sesama temen

Tigo kali kato rang lalu Tiga kali orang berbicara lancing

Jan takuik darah taserak Jangan takut darah tersembur

i. Arif bijaksana, tanggap dan sabar

Orang yang arif bijaksana, adalah orang yang dapat memahami pandangan orang lain. Dapat mengerti apa yang tersurat dan yang tersirat. Tanggap artinya mampu menangkis setiap bahaya yang bakal datang. Sabar artinya mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan pikiran yang jernih.

Ketiga sifat ini termasuk yang dinilai tinggi dalam adat Minang, seperti kata pepatah berikut :

Tahu dikilek baliuang nan ka kaki Tahu dengan kilat beliung kekaki

Kilek camin nan ka muka Kilat cermin yang ke muka

Tahu jo gabak diulu tando ka ujan Tahu dengan mendung dihulu tandakan hujan

Cewang di langik tando ka paneh Mega dilangit tandakan panas

Ingek di rantiang ka mancucuak Ingat ranting yang akan menusuk

Tahu didahan ka maimpok Tahu dahan yang akan menimpa

Tahu diunak kamanyangkuik Tahu duri yang akan mengait

Pandai maminteh sabalun anyuik Pandai memintas sebelum hanyut

Begitulah adat Minang menggambarkan orang-orang yang arif bijaksana dan tanggap terhadap masalah yang akan dihadapi. Orang-orang yang sabar diibaratkan oleh pepatah sbb:

Gunuang biaso timbunan kabuki Gunung biasa timbunan kabut

Lurah biaso timbunan aia Lurah biasa timbunan air

Lakuak biaso timbunan sampah Lekuk biasa timbunan sampah

Lauik biaso timbunan ombak Laut biasa timbunan ombak

Nan hitam tahan tapo Yang hitam tahan tempa (pukul)

Nan putiah tahan sasah Yang putih tahan cuci

Di sasah bahabih aia Dicuci berhabis air

Dikikih bahabih basi Dikikir berhabis besi

j. Rajin

Sifat yang lain yang pantas dipunyai orang Minang menurut adat adalah rajin seperti kata pepatah berikut ini :

Kok duduak marawuik ranjau Kalau duduk meraut ranjau (jebakan)

Tagak maninjau jarah Berdiri mengintai mangsa (berburu)

Nan kayo kuek mancari Ingin kaya ulet mencari (uang)

Nan pandai kuek baraja Ingin pandai rajin belajar

k. Rendah hati

Mungkin lebih dari separoh orang Minang hidup dirantau. Hidup dirantau artinya hidup sebagai minoritas dalam lingkungan mayoritas suku bangsa lain. Mereka yang merantau ke Jakarta, mungkin kurang merasakan sebagai kelompok minoritas.Tapi mereka yang merantau ke Bandung, Semarang, Malaysia, Australia, Eropa, Amerika mereka hidup ditengah-tengah orang lain yang berbudaya lain. Bagaimana perantau Minang harus bersikap ?

Adat Minang memberi pedoman sbb:

Kok manyauak di hilie-hilie Kalau menimba (air) di hilir-hilir

Kok mangecek dibawah-bawah Kalau bicara bersahaja

Tibo dikandang kambiang mangembek Tiba dikandang kambing mengembek

Tibo dikandang kabau manguak Tiba dikandang kabau menguak

Dimano langik dijunjuang Dimana langit dijunjung

Disinan bumi dipijak Disana bumi dipijak

Disitu rantiang di patah Disitu ranting di patah

Ini berarti sebagai perantau yang hidup dalam lingkungan budaya lain, maka kita sebagai kelompok yang minoritas harus tahu diri dan pandai menempatkan diri. Baris pertama diatas tidak berarti kita harus merasa rendah diri, tetapi justru berarti kita orang yang tahu diri sebagai pendatang. Bila dalam beberapa saat kita bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan, malah bisa jadi orang teladan dan tokoh masyarakat dilingkungan baru. Pada saat itu dia tidak perlu lagi “manyauak di hilie-hilie” malah mungkin menjadi “disauakkan dihulu-hulu”, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, diangkat menjadi pemimpin bagaikan penghulu dilingkungannya.

BAB II

ALAM MINANGKABAU

A. ALAM MINANGKABAU

1. Pengertian Alam

Pengertian “alam” bila diperhatikan kamus umum bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta, mengemukakan alam:

1. Dunia, misalnya : alam semesta, syah alam.

2. Kerajaan : daerah, nagari, misalnya : Alam Minangkabau.

Dari keterangan ini dapat diambil pengertian, bahwa alam yang dimaksud oleh orang Minangkabau adalah daerah Minangkabau. Untuk menentukan mana yang termasuk alam Minangkabau dapat dilihat dari keterangan tambo. Batas-batas daerah alam Minangkabau yang dikemukakan dalam tambo dikemukakan dengan batas-batas alam. Batas-batas alam ini kadang-kadang sulit ditafsirkan dengan pengertian sekarang. Batas-batas terebut seperti dikatakan ”...dari riak nan badabua, seluluak punai mati, sirangkak nan badangkang, buayo putiah daguak, taratak aia hitam, sikilang aia bangieh, sampai kadurian di takuak rajo...”.

Dari batas-batas yang dikemukakan ini tidak semuanya dapat ditafsirkan seperti nama siluluak punai mati, sirangkak nan badangkang dan lain-lain. Sedangkan taratak aia hitam dan sikilang aia bangih merupakan nama nagari yang sampai sekarang masih ditemui. Sikilang Aia Bangih adalah daerah pantai barat di Utara Sumatera Barat, sedangkan taratak aia hitam di daerah Bangko Tanah Tinggi. Riak nan badabua adalah Laut pantai Barat dari Sumatera Barat.

Bila diperhatikan peta geografis Propinsi Sumbar sekarang, maka batas-batas alam Minangkabau tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan dalam tambo Alam Minangkabau. Untuk jelasnya dapat dikemukakan, sebelah barat batasnya Samudra India, sebelah timur batasnya sialang balantak basi dan durian di takuak rajo. Sialang balantak basi berbatasan dengan Propinsi Riau. Sebelah Utara batasnya sikilang aia bangih, berbatasan dengan Sumatera Utara. Sebelah selatan batasnya taratak aia hitam adalah Muko-muko, berbatasan dengan Propinsi Bengkulu.

Perlu juga dikemukakan, bahwa dalam tambo alam Minangkabau tidak dikemukakan Pulau Mentawai, maupun tempat pemukiman orang Minangkabau seperti Nagari Sembilan dan Tapak Tuan. Bila ditinjau sejarah perkembangan geografis dan perpindahan orang Minangkabau, maka alam Minangkabau terdiri dari Pusat Alam Minangkabau dan daerah rantaunya dengan batas-batas yang disebutkan di atas.

Sehubungan dengan hal tersebut, batas geografis alam Minangkabau yang dikemukakan dalam tambo dan penutur adat lainnya menunjukkan, bahwa alam Minangkabau adalah daerah pusat alam Minangkabau (Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota) dengan daerah rantauannya masing-masing. Untuk membicarakan alam Minangkabau ini kita tidak dapat melepaskan diri dari pembicaraan laras, luhak dan rantau karena satu sama lain berkaitan.

2. Lareh Koto Piliang dan Bodi Chaniago

a. Asal Kata dan Pengertian Kata Kelarasa

Dalam kehidupan sehari-hari sering kali terjadi kerancuan mengenai kata “lareh” dengan kata “laras”. Dalam bahas daerah Minangkabau, kata “lareh” berarti hukum, yaitu hukum adat. Jadi lareh Koto Piliang berarti Hukum Adat Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago berarti Hukum Adat Bodi Caniago. Disamping itu kata lareh berarti “daerah” seperti Lareh Nan Panjang.

Menurut kepercayaan orang Minangkabau yang berpedoman kepada tambo Alam Minangkabau, pertama sekali didirikan Lareh Nan Panjang yang berpusat di Pariangan Padang Panjang yang dianggap sebagai nagari tertua di Minangkabau. Pucuk pimpinan pada waktu itu Dt. Suri Dirajo. Nagari yang termasuk daerah Lareh Nan Panjang adalah : Guguak Sikaladi, Pariangan, Padang Panjang, Sialahan, Simabua, Galogandang Turawan, Balimbiang. Daerah ini dikatakan juga Nan Sahiliran Batang Bangkaweh, hinggo Guguak Hilia, Hinggo Bukik Tumansu Mudiak.

Semasa penjajahan Belanda daerah Minangkabau dijadikan Kelarasan yang dikepalai oleh seorang Laras atau Regent. Kelarasan bikinan penjajahan Belanda ini merupakan gabungan beberapa Nagari dan tujuannya lebih mempermudah pengontrolan oleh penjajah. Yang menjadi laras atau regent ditunjuk oleh Belanda. Setelah penjajahan Belanda berakhir, maka kelarasan bikinan Belanda ini juga lenyap tidak sesuai dengan susunan pemerintahan secara adat yang berlaku di Minangkabau.

2. Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Chaniago dengan Daerahnya.

Yang termasuk lareh Koto Piliang dengan pengertian yang memakai sistem adat Koto Piliang disebut Langgam Nan Tujuah. Langgam Nan Tujuh itu adalah sebagai berikut:

1. Sungai Tarab Salapan Batu, disebut Pamuncak Koto Piliang

2. Simawang Bukik Kanduang, disebut Perdamaian Koto Piliang

3. Sungai Jambu Lubuak Atan, disebut Pasak Kungkuang Koto Piliang

4. Batipuah Sepuluh Koto disebut Harimau Campo Koto Piliang

5. Singkarak Saniang Baka, disebut Camin Taruih Koto Piliang

6. Tanjung Balik, Sulik Aia, disebut Cumati Koto Piliang

7. Silungkang, Padang Sibusuak, disebut Gajah Tongga Koto Piliang

Disamping Langgam Nan Tujuh, nagari-nagari lain yang termasuk Lareh Koto Piliang adalah Pagaruyuang, Saruaso, Atar, Padang Gantiang, Taluak Tigo Jangko, Pangian, Buo, Bukik Kanduang, Batua, Talang Tangah, Gurun, Ampalu, Guguak, Padang Laweh, Koto Hilalang, Sumaniak, Sungai Patai, Minangkabau, Simpuruik, Sijangek.

Pusat pemerintahan Lareh Koto Piliang di Bungo Satangkai Sungai Tarab. Dengan demikian pusat pemerintahan sudah tidak di pariangan padang panjang lagi. Daerah-daerah yang termasuk Lareh Bodi Canago disebut juga dalam tambo “Tanjuang Nan Tigo, Lubuak Nan Tigo” :

Tanjuang Nan Tigo

1. Tanjuang Alam

2. Tanjuang Sungayang

3. Tanjuang Barulak

Lubuak Nan Tigo

1. Lubuak Sikarah di Solok

2. Lubuak Simauang di Sawahlunto Sijunjung

3. Lubuak Sipunai di Tanjuang Ampalu

Disamping Lubuak Nan Tigo dan Tanjuang Nan Tigo, yang termasuk Lareh Bodi Caniago juga adalah Limo Kaum XII Koto dan sembilan anak kotonya. Daerah yang termasuk XII Koto adalah: Tabek, Sawah Tengah, Labuah, Parambahan, Sumpanjang, Cubadak, Rambatan, Padang Magek, Ngungun, Panti, Pabalutan, Sawah Jauah. Sembilan Anak Koto Terdiri Dari : Tabek Boto, Salaganda, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk, Rajo Dani. Pusat pemerintahan di Dusun Tuo Limo Kaum.

Suatu peninggalan Lareh Bodi Caniago yang sampai saat sekarang merupakan monumen sejarah adalah Balairung Adat yang terdapat di desa Tabek. Di Balairung Adat inilah segala sesuatu dimusyawarahkan oleh ninik mamak bodi caniago pada masa dahulu.

3. Beberapa Pendapat Tentang Lahirnya Koto Piliang dan Bodi Caniago

Mengenai lahirnya Koto Piliang dan Bodi Caniago ada beberapa versi. Datuk Batuah Sango dalam bukunya Tambo Alam Minangkabau mengemukakan sebagai berikut :

“...sesudah itu mufakatlah nenek Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Suri Dirajo hendak membagi kelarasan, maka dibagilah oleh orang yang bertiga itu menjadi dua kelarasan...”.

Adapun sebabnya dibagi dua laras negeri itu yaitu karena yang menjadi kepala atau yang punya pemerintahan ialah Datuk Ketumanggungan, dialah yang menjadi raja pada waktu itu. Sebab Datuk Ketumanggungan ini adalah anak dari raja, dan datuk perpatih ini yaitu di bawah Datuk Ketumanggungan sebagai berpangkat mangkubumi (perdana menteri) karena ia adalah orang yang pandai mengatur kerajaan sehingga negeri pariangan padang panjang menjadi besar dan sempurna peraturannya.

Dan dapat pula ia meluaskan pemerintahan samapai ke durian ditakuak rajo hingga sialang balantak basi sampai ke sipisau-pisau hanyuik hingga semuanya adalah oleh peraturan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Oleh karena itu berfikirlah Datuk Ketumanggungan akan membalas jasa usaha dari Datuk Perpatih Nan Sabatang dan mufakatlah Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang serta Datuk Suri Dirajo dengan segala penghulu-penghulu, manti dan hulubalang, sambil Datuk Ketumanggungan bersuara lebih dahulu dalam kerapatan, karena nagari sudah ramai dan peraturan sudah sempurna diatur oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, tidaklah saya dapat membalas budinya itu melainkan negeri ini saya berikan sebagian supaya boleh ia berkuasa pula memerintah dalam negeri ini.

Sesudah bicara Datuk Ketumanggungan itu, maka dijawab oleh anggota kerapatan, itulah kata tuanku yang pilihan atau kata yang tak boleh dipalingkan lagi. Sebab itulah pemerintahan Datuk Ketumanggungan bernama Koto Piliang berasal dari kota pilihan, atau dari kata yang tidak boleh dipalingkan. Pemerintahan Datuk Perpatih Nan Sabatang bernama Bodi Caniago yang berasal dari budi yang berharga.
Untuk memperoleh pengertian dari kutipan diatas adalah, bahwa pada mulanya kepala pemerintahan adalah Datuk Ketumanggungan sesudah ayahnya meninggal dunia. Sedangkan yang membantunya sehari-hari adalah adiknya yang berlainan ayah yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Berkenaan adiknya telah berrbuat baik dalam meluaskan daerah dan pemerintahan, timbulah niat saudaranya untuk membalas budi baik adiknya Datuk Perpatih Nan Sabatang. Niatnya ini disampaikan pada suatu sidang kerapatan adat. Setelah niatnya disampaikan kepada sidang kerapatan, untuk memberi daerah kekuasaannya sebagian kepada adiknya semua anggota sidang kerapatan setuju dengan rencana yang dikemukakan oleh Datuk Ketumanggungan. Bahkan dikatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Datuk Ketumanggungan tersebut, sudah merupakan kata pilihan, dengan arti kata tidak perlu lagi dipersoalkan.

Dari sinilah asal kata Koto Piliang yaitu dari kata yang pilihan. Sedangkan pemerintahan atau sistim adat Bodi Caniago berasal dari bodi baharago (budi yang berharga), yaitu Datuk Perpatih Nan Sabatang telah bertanam budi terlebih dahulu dan kemudian mendapat penghargaan dari saudaranya Datuk Ketumanggungan.

Pendapat lain mengatakan bahwa Bodi Caniago berasal dari kata “bodhi caniago” yang artinya berasal dari kata bhodi can yaga yang artinya bahwa budi nurani manusialah yang menjadi sumber kebajikan dan kebijakan. Sedangkan Koto Piliang berasal dari bahasa sansekerta yaitu ”koto pili” yang dari kata pili hyang artinya segala sesuatu bersumber sabda dari hyang dan pili sama artinya dengan karma atau dharma. Datuk Ketumanggungan seorang penganut hiduisme yang regilius, percaya manusia disusun dalam kerangka hirarki piramidal dengan pucuk, seorang pribadi yang merenungkan langit (hyang). Datuk Perpatih Nan Sabatang seorang egaliter, demokrat murni yang menilai tinggi kedudukan pribadi yang menganut persamaan dan kesamaan.

Pada dasarnya orang minangkabau sampai sekarang masih memegang teguh asal kata Koto Piliang dan Bodi Caniago yang bersumberkan kepada tambo Alam Minangkabau.

4. Berberapa Perbedaan Adat Koto Piliang Dengan Bodi Caniago

Ada beberapa perbedaan dalam kedua sistim adat ini seperti berikut:

a. Memutuskan Perkara

Menghadapi sesuatu permasalahan dalam memutuskan perkara, Bodi Caniago berpedoman kepada “...tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati, dilahia lah samo nyato di batin buliah diliekti...” (tuah karena sekata, mulanya rundingandimufakati, dilahir sudah sama nyata, dibatin boleh dilihat). Artinya sesuatu pekerjaan atau menghadapi sesuatu persolan terlebih dahulu hendaklah dimufakati, dimusyawarahkan. Hasil dari mufakat ini benar-benar atas suara bersama, sedangkan Koto Piliang berdasarkan kepada "...nan babarih nan bapahek, nan baukua, nan bakabuang : coreng barih buliah diliek, cupak panuah bantangnyo bumbuang...” ( yang digaris yang dipahat, yang diukur yang dicoreng : baris boleh dilihat, cupak penuh gantangnya bumbung). Pengertian segala undang-undang atau peraturan yang dibuat sebelumnya dan sudah menjadi keputusan bersama harus dilaksanakan dengan arti kata “terbujur lalu terbulintang patah”.

b. Mengambil Keputusan

Dalam mengambil suatu keputusan adat Bodi Caniago berpedoman kepada “...kato surang dibuleti katobasamo kato mufakat, lah dapek rundiang nan saiyo, lah dapek kato nan sabuah, pipiah dan indak basuduik bulek nan indak basandiang, takuruang makanan kunci, tapauik makanan lantak, saukua mako manjadi, sasuai mangko takana, putuih gayuang dek balabeh, putih kato dek mufakat, tabasuik dari bumi...". (kata seorang dibulati, kata bersama kata mufakat, sudah dapat kata yang sebuah, pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding, terkurung makanan kunci, terpaut makanan lantak, seukur maka terjadi, sesuai maka dipasangkan, putus gayung karena belebas, putus kata karena mufakat, tumbuh dari bumi). Maksud dari sistem adat Bodi Caniago ini yang diutamakan sekali adalah sistem musyawarah mencari mufakat.

Sedangkan Koto Piliang yang menjadi ketentuannya, "...titiak dari ateh, turun dari tanggo, tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang dalam lauik, ikan makannyo, nan mailia di palik, nan manitiak ditampung..." (titik dari atas, turun dari tanggga, terbujur lalu terbelintang patah, kata sorang besar segala iya, ikan besar dalam laut ikan makannya, yang mengalir di palit yang menitik ditampung).

c. Pengganti Gelar Pusaka

Pada lareh Bodi Caniago seseorang penghulu boleh hidup berkerilahan, yaitu mengganti gelar pusaka kaum selagi orangnya masih hidup. Hal ini bila yang digantikan itu sudah terlalu tua dan tidak mampu lagi menjalankan tugasnya sebagai pemimpin anak kemenakan. Dalam adat dikatakan juga "lurahlah dalam, bukiklah tinggi" (lurah sudah dalam, bukik sudah tinggi). Sedangkan pada lareh Koto Piliang "baka mati batungkek budi" (mati bertongkat budi) maksudnya gelarnya itu baru bisa digantikan setelah orangnya meninggal dunia.

d. Kedudukan Penghulu

Pada lareh Koto Piliang ada tingkatan-tingkatan penguasa sebagai pembantu penghulu pucuk, berjenjang naik bertangga turun. Tingkatan penghulu dalam nagari ada penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuk. Penghulu pucuk inilah sebagai pucuk nagari. “bapucuak bulek, baurek tunggang” (berpucuk bulat berurat tunggang). Sedangkan pada Bodi Caniago semua penghulu sederajat duduknya "sahamparan, tagak sapamatang" (duduk sehamparan tegak sepematang).

e. Balai Adat dan Rumah Gadang

Balai adat lareh Koto Piliang mempunyai anjuang kiri kanan berlabuh gajah di tengah-tengah. Anjung kiri kanan ada tempat yang ditinggikan. Ini dari lantai yang lain untuk menempatkan penghulu-penghulu sesuai dengan fungsinya atau tingkatannya. Lantai rumah gadang Koto Piliang ada tingkatannya. Maksudnya juga bila ada persidangan penghulu-penghulu tidak sama tinggi kedudukannya, dia duduk sesuai dengan fungsinya dalam adat.
Pada lareh Bodi Caniago lantai balai adat dan rumah gadang, lantainya datar saja. Semua penghulu duduk sehamparan duduk sama rendah, tegak sama berdiri.

Secara substansial, kedua sistem adat ini sesungguhnya sama-sama bertitik tolak pada azas demokrasi. Perbedaannya hanya terletak pada aksentuasi dalam penyelenggaraan dan perioritas pada hak azasi pribadi disatu pihak dan kepentingan umum dipihak lain. Suatu fenomena yang sudah sama tuanya dengan sejarah kebudayaan umat manusia sendiri.

5. Luhak

a. Pengertian Luhak

Dalam bahasa daerah Minangkabau kata luhak diucapkan dengan “luak”. Artinya yang terkandung dari padanya adalah negeri, daerah, sumur, susut, berkurang. Dari tambo Alam Minangkabau sejarah lahirnya luhak dihubungkan dengan pengertian kurang. Seperti dikemukakan Luhak Tanah Datar berarti kurang tanah yang datar. Juga ada pendapat karena Tanah Datar sebagai luhak yang tertua, maka adat dan penduduknya berpindah dari sini. Dengan demikian berkurang jugalah Luhak Tanah Datar ini.

a.Luhak Agam

Menurut ceritanya : orang-orang agam berasal dari keturunan Harimau Campo, mereka mempunyai watak pemberani, jantan dan pamuncak. Agam itu artinya pemberani, jantan dan pamuncak. Setelah orang-orang Harimau Campo pindah dari Pariangan Padang Panjang kesebelah barat gunung merapi (melalui batipuah) maka “luak”lah orang-orang pemberani yang akan mengamankan Nagari Pariangan Padang Panjang. Oleh karena itu tersebutlah di Pariangan Padang Panjang “Luhak Orang Agam” (kurang orang pemberani) dalam nagari Pariangan Padang Panjang, karena mereka telah pindah ke tempat yang baru. Tidak ada hubungan dengan “luak agama” karena pada masa itu orang Minangkabau belum islam.

b. Luhak Lima Puluh Kota

Penduduknya berasal dari Pariangan Padang Panjang. Mereka berangkat untuk mencari tempat pemukiman baru sebanyak lima puluh orang. Disebuah padang dekat piladang sekarang hari sudah malam. Keesokkan harinya jumlah rombongan itu tidak ditemui lima orang. Setelah saling bertanya semuanya mengatakan “antah” dan tempat tersebut sampai sekarang bernama padang siantah. Keturunan yang berjumlah 45 orang ini merupakan asal penduduk luhak lima puluh kota, dengan pengertian sudah kurang dari lima puluh.

Dalam pengertian sehari-hari di daerah Minangkabau kata “luak” juga berarti sumur. Pergi ke luak berarti pergi mengambil air atau pergi mandi. Luak dengan pengertian sumur ini juga ada kaitannya dengan kurang, sebab sumur tersebut berada pada tanah yang kerendahan, bisa kemudian digenangi air yang sewaktu-waktu airnya bisa berkurang (luak).

1. Luhak Tanah Datar

Daerah yang termasuk Luhak Tanah Datar terdiri atas empat bahagian yaitu : Lima Kaum XII Koto, Sungai Tarab Salapan Batu, Batipuah X Koto dan Lintau Buo IX Koto. Lima Kaum XII Koto terdiri dari : Ngungun, Panti, Cubadak, Supanjang, Pabalutan, Sawah Jauah, Rambatan, Padang Magek, Labuah, Parambahan, Tabek dan Sawah Tangah. Lima Kaum XII Koto dengan sembilan koto di dalam terdiri dari Tabek Boto, Salaganda, Baringin, Koto Baranjak, Lantai Batu, Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk dan Rajo Dani.

Sungai Tarab Salapan Batu daerahnya, Koto Tuo, Pasia Laweh, Sumaniak jo Koto Panjang, Supayang jo Situmbuak, Gurun Ampalu, Sijangek, Koto Bandampiang, Ujuang Labuah, Kampuang Sungayang VII Koto Disinan Andaleh, Baruah Bukik, Sungai Patai, Sungaiyang, Sawah Laiek dan Koto Ranah.

Daerah Batipuah X Koto daerahnya adalah : Pariangan, Padang Panjang, Jaho, Tambangan, Koto Laweh, Pandai Sikek, Sumpu, Malalo, Gunuang, Paninjauan. Lintau Buo IX Koto merupakan perkembangan dari Tanjung Sungayang dan Andaleh Baruah Bukik yang terdiri dari Batu Bulek, Balai Tangah, Tanjung Bonai, Tapi Selo, Lubuak Jantan. Nagari-nagari ini disebut juga Limo Koto Nan Diateh. Kemudian ditambah dengan Empat Koto di Bawah yaitu; Buo, Pangian, Taluak dan Tigo Jangko. Perpindahan penduduk ke daerah selatan, muncul 13 nagari yang disebut dengan Kubuang XIII. Nagari-nagari yang termasuk Kubang XIII adalah : Solok Salayo, Koto Hilalang, Cupak, Talang, Guguak, Saok Laweh, Gantuang Ciri, Koto Gadang, Koto Anau, Muaro Paneh, Kinali, Koto Gaek dan Tanjuang Balingkuang. Dari arah Kubuang XIII berkembang terus menjadi Alahan Panjang, Pantai Cermin, Alam Surambi Sungai Pagu.

Dari daerah Batipuah X Koto, dari Jaho dan Tambangan terjadi perpindahan ke Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Sicincin, Toboh Pakandangan yang dinamakan Ujung Darek Kapalo Rantau 2 X 11 Enam Lingkuang. Dari daerah ini berkembang menjadi VII Koto Sungai Sariak yang terdiri dari Tandikek, Batu Kalang, Koto Dalam, Koto Baru, Sungai Sariak, Sungai Durian, Ampalu.

Perpindahan dari Lintau Buo, Tanjuang Barulak berlajut kearah timur sampai ke Sijunjung Koto Tujuah, Koto Sambilan Nan Dihilia, Koto Sambilan Nan Di Mudiak, Kolok, Sijantang, Talawi, Padang Gantiang, Kubang Padang Sibusuak, Batu Manjulua, Pamuatan, Palangki, Muaro Bodi, Bundan Sakti, Koto Baru, Tanjung Ampalu, Palaluar, Tanjuang Guguak, Padang Laweh, Muaro Sijunjuang, Timbulun, Tanjuang, Gadang, Tanjuang Lolo, Sungai Lansek. Adapun yang menjadi daerah inti dari Luhak Tanah Datar adalah kabupaten Tanah Datar sekarang.

2. Luhak Agam

Luhak Agam merupakan luhak yang kedua sesudah Luhak Tanah Datar. Luhak Agam berasal dari Pariangan Padang Panjang dan kedatangan penduduk ke Luhak Agam pada mulanya empat kaum atau empat rombongan yang berlangsung empat periode dan tiap periode empat-empat. Periode pertama keempat rombongan ini mendirikan empat buah nagari yaitu Biaro, Balai Gurah, Lambah dan Panapuang. Periode kedua mendirikan Nagari Canduang, Koto Laweh, Kurai dan Banahampu. Periode ketiga lahir Nagari Sianok, Koto Gadang, Guguak dan Tabek Sarojo. Periode keempat mendirikan Nagari Sariak, Sungai Puar, Batagak dan Batu Palano.

Dengan demikian Luhak Agam terdiri enam belas koto pada mulanya dan kemudian berkembangan nagari-nagari lainnya seperti Kapau, Gadut, Salo, Koto Baru, Magek, Tilatang Kamang, Tabek Panjang, Pincuran Puti, Koto Tinggi, Simarasok dan Padang Tarab. Dari gugusan Sianok Koto Gadang berkembang sampai ke Matur, Kampung Panta, Lawang Togo Balai, sampai ke Ranah Palembayan. Perkembangan ini bertemu dengan yang datang dari Kamang dan Tujuh Lurah Koto Rantang. Perpindahan selanjutnya telah melahirkan Nagari Kumpulan, Ganggo, Kinali, Sundata, Lubuak Basuang, Batu Kambing, Katiagan, Sasak dan Tiku. Dari Matur perkembangan selanjutnya ke Maninjau, Muko-Muko, XII Koto Sungai Garinggiang, Gasan, Tiku, Lauik Nan Sadidih, melalui Malalak, Sigiran, Cimpagok, Ulu Banda dan seterusnya menjadi Limo Koto Kampuang Dalam, Piaman Sabatang Panjang dan III Koto Malai. Dari Malalak berkembang juga ke Sungai Batang, Sigiran, Tanjuang Sani melalui Batu Anjuang.

Perpindahan dan perkembangan dari Tiku Pariaman akhirnya bertemu dengan perpindahan dari Jaho, Tambangan dan Bungo Tanjuang dari Luhak Tanah Datar dan melahirkan Padang VIII Suku. Padang VIII Suku ini terdiri dari Pasia, Ulak Karang, Ranah Binuang, Palinggam, Subarang Gantiang, Parak Gadang, Aia Cama, Alang Laweh, Balai Tampuruang.

Dari daerah Kubuang XIII bertemu dengan perpindahan dari Tiku Pariaman dan Padang VIII Koto akhirnya melahirkan nagari Lubuak Kilangan, Tarantang, Baringin, Bandar Buek, Limau Manis Nan XX. Nagari yang termasuk Nan XX adalah Lubuak Bagaluang jo Ujuan Tanah, Tanjuang Saba, Pitameh, Banuaran, Koto Baru, Pampangan, Pasia Gauang, Sungai Barameh, Taluak Nibuang, Piai, Tanah Sirah, Batu Kasek, Parak Patamburan, Gurun Laweh, Tanjuang Aua, Batuang Taba, Kampuang Jua, Cangkeh, Kampuang Baru. Perpindahan dari Singkarak, Saniang Baka dengan melintasi bukik barisan telah melahirkan nagari Pauh Lima dan Pauh Sembilan, Kandih dan Nanggalo.

Dapat diambil kesimpulan bahwa Kota Padang sekarang merupakan pertemuan dari penduduk yang berasal dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Kubuang XIII. Secara historis tepat sekali kota padang ibukota propinsi Sumatera Barat, bila dikaitkan wilayah adat Minangkabau, karena sebagian besar wilayah adat berkaitan dengan bandar Padang tersebut.

3. Luhak Lima Puluh Koto

Luhak Limo Puluah Koto disebut Luhak Nan Bonsu. Wilayah yang termasuk Lima Puluh Kota terdiri empat bagian. Keempat wilayah tersebut adalah:

1. Sandi

Daerahnya dari Bukit Sikabau Hilir sampai Muaro Mudiak, Nasi Randam hingga Padang Samuik ketepi yang meliputi Nagari Koto Nan Gadang dan Koto Nan Empat sekarang ini.

2. Luhak

Luhak daerahnya dari Mungo Mudiak hingga Limbukan Hilia, Mungo, Koto Kaciak, Andaleh, Tanjuang Kubu, Banda Tunggang, Sungai Kamuyang, Aua Kuniang, Tanjuan Patai, Gadih Angik, Limbukan, Padang Karambia, Limau Kapeh, Aia Tabik Nan Limo Suku.

3. Lareh

Yang menjadi wilayah lareh sejak dari Bukik Cubadak sampai mudiak hingga Padang Balimbiang Hilir. Pusatnya di Sitanang Muara Lakin. Perkembangan dan perpindahan penduduk selanjutnya lahir nagari-nagari Ampalu, Halaban, Labuah Gunuang, Tanjuang Baringin, Kurun, Labuak Batingkok, Tarantang, Sari Lamak, Solok, Padang Laweh.

4. Hulu

Yang termasuk wilayah hulu dalam Luhak Lima Puluh Kota adalah yang “Berjenjang Ke Ladang Laweh Berpintu Ke Sungai Patai, Selilit Gunuang Sago, Hinggo Labuah Gunuang Mudik Hinggo Babai Koto Tinggi”.

Dari Luhak Lima Puluh Kota perkembangan selanjutnya ke Muaro Sungai Lolo, Tapus Rao Mapattunggal, Kubu Nan Duo, Sinuruik, Talu Cubadak, Simpang Tonang, Paraman, Ampalu, Aua Kuniang, Parik Batu, Sasak, Sungai Aua, Air Balam, Sikilang Aia Bangih.

Dari Niniak Nan Balimo (nenek yang berlima) yang meninggalkan rombongan telah membuat tempat kediaman baru yaitu Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih. Sebagai daerah Luhak Lima Puluh Kota adalah Kabupaten Lima Puluh Kota sekarang.

d. Kepribadian Masyarakatnya

Kepribadian masing-masing luhak juga diungkapkan dalam bambo, dengan perumpamaan, yaitu Luhak Agamdikatakan buminya-panas, airnya keruh, ikannya liar. Perumpamaan ini ditafsirkan bahwa penduduknya keras hati, berani dan suka berkelahi. Luhak Tanah Datar dikatakan buminya lambang, airnya tawar, ikannya banyak, dengan penafsiran masyarkatnya ramah, suka damai dan sabar. Sedangkan Luhak Lima Puluh Kota dikatakan buminya sejuk, airnya jernih dan ikannya jinak yang artinya bahwa masyarakatnya mempunyai kepribadian berhati lembut, tenang dan suka damai.

Prof. Hamka mengatakan, sifat ketiga luhak ini surang cadiak, surang pandeka, surang juaro tangah balai. “pendekar luhak tanah datar, juara tengah balai Luhak Agamdan cerdik luhak lima puluh kota.

Disamping perbedaan kepribadiannya juga warna tiap-tiap luhak saling berbeda yang mungkin ada kaitannya dengan kepribadiannya tadi. Warna kuning untuk Luhak Tanah Datar, warna merah untuk Luhak Agam dan biru untuk Luhak Lima Puluh Kota. Sedangkan tiap luhak mempunyai perlambang yang diambil dari hewan. Luhak Tanah Datar hewannya kucing. Sifat kucing yang jinak dan penyabar tetapi bila habis kesabarannya baru dia memperlihatkan kukunya. Luhak Agam lambang hewannya harimau. Harimau sebagai perlambang sikap berani dan pantang menyerah. Luhak Lima Puluh Kota lambang hewannya kambing. Kambing walaupun jinak tapi tidak bisa ditarik begitu saja, dia mempunyai kepribadian yang kokoh dan tidak mau cepat terpengaruh. Perumpamaan-perumpamaan diatas dikaitkan dengan sifat kepribadian masing-masing luhak.

6. Rantau

1. Pengertian Rantau

Menurut kamus umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W. J. S. Poerwadarminta, arti dari pada “rantau” banyak sekali. Rantau mempunyai pengertian pantai sepanjang teluk (sungai), pesisir, daerah diluar negerinya sendiri, negeri asing tangah (negeri) tempat mencari penghidupan. Pengertian yang diambil terhadap rantau ini adalah tanah (negeri) tempat mencari penghidupan. Di tempat ini muncul nagari-nagari yang didiami oleh orang-orang yang datang dari Luhak Nan Tigo.

2. Daerah Rantau Luhak Nan Tigo

Tiap-tiap luhak mempunyai daerah rantau masing-masing sesuai dengan perpindahan penduduk dari luhak tersebut.

Rantau Luhak Tanah Datar meliputi rantau Batang Hari, Pucuak Jambi Sembilan Lurah, yaitu daerah-daerah sailiran batang hari. Di daerah hulu Batang Hari dikenal Rantau Cati Nan Kurang Aso XX. Rantau Nan Kurang Aso XX yaitu Lubuak Ambacang, Lubuak Jambi, Gunuang, Koto, Benai, Pangian, Basra, Sitanjau, Kopa, Teluk Ingin, Indoman, Surantih, Taluak Rayo, Simpang Kulayang, Aia Molek, Pasia Ringgik, Kuantan, Talang Mamak dan Kuala Enok. Daerah Rantau Luhak Tanah Datar yang lain yaitu Rantau Pesisir Panjang yang dinamakan Bandar X. daerah yang termasuk Bandar X adalah : Batang Kapeh, Kuok, Surantih, Amping Parak, Kambang, Lakitan, Punggasan, Air Haji, Painan, Banda Salido, dan Tarusan. Tapan, Lunang, Silaut, Indopuro dan Manjuto juga merupakan Rantau Luhak Tanah Datar.

Disamping itu ada juga yang disebut Ujung Darek Kapalo Rantau dari Luhak Tanah Datar. Ujung Darek Kapalo Luhak Tanah Datar merupakan daerah perbatasan antara Luhak Tanah Datar dengan daerah rantau. Daerah tersebut adalah Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapao Hilalang, Sicincin Tinggi, Toboh Pakandangan, 2 X 11 Enam Lingkuang dan VII Koto Sungai Sariak.

Luhak Agam daerah rantaunya adalah Tiku Pariaman, Sasak Air Bangis, sedangkan daerah yang disebut ujuang darek kapalo rantau adalah Palembayan, Sirasak Aie, Sungai Garinggiang, Lambah Bawan, Padang Manggopoh. Ke selatan adalah Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Toboh Pakandangan.

Luhak Lima Puluh Kota daerah rantaunya adalah rantau Kampar Kanan dan Kampar Kiri yang termasuk daerah Kampar Kiri terdiri dari enam daerah yaitu Kudai, Ujuang Bukik, Gunuang Sahilan, Lipat Kain, Kuniuk dan Sanggan. Rantau Kampar Kanan dibagi atas tiga bagian. Pertama disebut di hulu Tuangku Nan Tigo, yang terdiri dari Limbanang Koto Laweh, Koto Tangah dan Koto Tinggi, Sungai Dadok dan Sungai Naniang. Yang kedua disebut di Tengah Kampar Sembilan yang terdiri dari Yajuang, Muaro Takus, Gunuang, Malelo Pongkai, Koto Bangun, Sialang, Durian Tinggi, Kapuak dan Lubuak Alai. Yang ketiga disebut di Ulak Koto Nan Anam yang terdiri dari Koto Baru, Koto Alam, Tanjuang Pauah, Tanjuang Balik, Mangilang dan Malintang.

3. Merantau

Bila diperhatikan arti kata merantau mempunyai berbagai pengertian seperti berlayar, mencari penghidupan di sepanjang rantau (dari sungai kesungai). Merantau juga berarti pergi ke pantai atau pesisir, pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan. Dari sekian arti kata merantau maka yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pergi ke negeri laun untuk mencari penghidupan.

Ciri khas pada permulaan merantau mereka membawa adat minangkabau dengan sistem lareh yang mereka anut serta suku mereka. Di samping itu waktu-waktu tertentu mereka pulang melihat tanah asal mereka. Tujuan pulang ini agar tali kekeluargaan jangan sampai putus dengan tempat asal. Namun demikian pulang ketempat asal ini bisa jadi semakin kurang, malahan keturunan selanjutnya tidak meneruskan tradisi nenek-nenek mereka, yang tinggal hanya ceritera asal usul mereka

Motivasi merantau pada tingkat permulaan, ialah untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Mereka pindah jauh dari pusat Luhak Nan Tigo, yaitu di daerah pesisir dan hiliran sungai.

Perkembangan arti merantau selanjutnya bukan hanya terbatas pada daerah Alam Minangkabau saja, tetapi meluas kedaerah yang bukan etnis minangkabau. Hal ini erat hubungannya dengan situasi dan kondisi di tempat mereka tinggal. Di daerah pesisir atau di daerah hiliran sungai mereka berhubungan dengan dunia perdagangan. Secara tidak langsung kehidupan yang bersifat rural agraris berpindah kepada ekonomi perdagangan. Mereka ambil bagian dalam perdagangan antar daerah di luar Alam Minangkabau. Di daerah yang mereka kunjungi akhirnya lahir permukiman orang minangkabau seperti di Tapak Tuan, Batu Bara, Asahan, Negeri Sembilan dan lain-lain. Sampai sekarang keturunan mereka yang ada disana masih menanggap sebagai keturunan orang Minangkabau.

Pada saat sekarang pengertian merantau sudah menjadi luas. Keluar dari kampung sendiri atau ke kota lain yang masih dalam kawasan Sumatera Barat sudah dikatakan pergi merantau, apalagi pergi keluar sumatera barat. Pada permulaan merantau bertujuan untuk mencari penghidupan, sedangkan sekarang untuk melanjutkan pendidikan ke negeri lain juga dikatakan pergi merantau.

4. Tujuan Merantau

Untuk mencari ilmu dan memperbaiki ekonomi, disebut dalam mamangannya

mencarikan punggung tak basaok

mencarikan paruik tak berisi

Dirantau orang harus pandai-pandai menyesuaikan diri, mamak ditinggalkan di kampung, dapati pula mamak di rantau, saudara ditinggalkan, cari pula saudara di rantau, dalam hal ini juga disebut dalam mamangan :
kok pandai bakain panjang
labiah sa elok kain saruang
kok lai pandai mangaokannyo
kok pandai ba induak samang
labiah sa elok mamak kanduang
kok lai pandai mambaokannyo

walaupun sutan di kampuang awak
anak dagang juo di rantau urang
kok mandi di hilia-hilia
kok bakato di bawah-bawah

turuikkan langkah bak bacatua
turuikkan ayun bak babuai
pakailah pulo deta jawa
kanakkan malah kain bugih
saruangkan baju guntiang cino
pakai sarawa lambuak aceh
sarato tarompa rang gujarat
baitu caro anak dagang

dima bumi dipijak
dinsanan langik dijunjuang
dima rangitiang dipatah
disitu sumua di kali
dima nagari diunyi
adat disitu nan dipakai


5. Akibat Merantau Bagi Orang Minangkabau

Akibat merantau bagi orang minangkabau yang meninggalkan kampung halaman telah meluas cakrawala atau pandangan untuk mengenal daerah diluar Minangkabau, seperti di katakan “tidak seperti katak di bawah tempurung”. Akibatnya orang minangkabau tidak berpaham sempit dalam hubungan sosial dengan lain suku bangsa. Hasil perantauan pada masa dahulu dibawa pulang untuk menjadi modal dalam membina kecerdasan dan kesejahteraan keluarga. Tipe merantau seperti ini dibentuk dengan talibun adat yang mengatakan

Karatau madang diulu
babuah babungo balun
marantau bujang dahulu
di kampuang paguno balun

satinggi – tinggi malantiang
jatuahnyo ka tanah juo
sajauah-sajuah tabang bangau
suruiknyo ka kubangan juo

Makna yang dapat diambil, adalah yang pergi merantau itu diharapkan dan ditunggu kedatangannya lagi, jadi bukan merantau cina. Kepada yang muda diharapkannya untuk mencari ilmu, pengalaman sebanyak mungkin di negeri orang, baik berusaha maupun menambah ilmu. Belum ada gunanya bagi keluarga atau kampung halaman bila seseorang itu belum dapat mempersembahkan segala yang diperolehnya dari rantau. Demikian pula dengan pengalamannya di daerah rantau akan lebih mendewasakannya nanti sebagai pemimpin kaum dan negeri bila tiba saatnya menggantikan kebesaran mamaknya.

Jiwa merantau yang memikirkan kampung halaman ini masih terdapat bagi orang Minangkabau. Hal ini dapat dilihat dengan mengalirnya bantuan dari rantau yang bertujuan bukan hanya untuk keluarga di kampung tetapi juga bantuan untuk pembangunan kampung halamannya.

BAB III

ADAT MINANGKABAU


A. Pengertian Adat

Dalam membicarakan pengertian adat ada beberapa hal yang perlu dikemukakan, diantaranya adalah asal kata adat, pengertian adat secara umum dan pengertian adat dalam Minangkabau.

  1. Asal Kata Adat

Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau banyak mempergunakan kata adat terutama yang berkaitan dengan pandangan hidup maupun norma-norma yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan masyarakatnya. Kesemuan yaitu diungkapkan dalam bentuk pepatah, petitih, mamangan, ungkapan-ungkapan dan lain-lain. Sebagai contohnya dapat dikemukakan "...adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah ; adat dipakai baru, kain dipakai usang, adat sepanjang jalan, cupak sepanjang batuang, adat salingka nagari; harato salingka kaum...", dan lain-lain

Walaupun banyak penggunaan kata-kata adat oleh orang Minangkabau, namun barangkali tidak banyak orang mempertanyakan asal usul dari kata adat tersebut. Tidak banyak literatur yang memperkatakan kata adat ini. Drs. Sidi Gazalba dalam bukunya pengantar kebudayaan sebagai ilmu mengatakan : “ adat adalah kebiasaan yang normatif ". Kalau adat dikatakan sebagai kebiasaan maka kata adat dalam pengertian ini berasal dari bahasa arab yaitu “adat”.

Sebagai bandingan, seorang pemuka adat Minangkabau, yaitu Muhammad Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu dalam bukunya sejarah Ringkas Minangkabau Dan Adatnya mengatakan : adat lebih tua dari pada adat. Adat berasal dari bahasa sansekerta dibentuk dari “a”dan “dato”. “a” artinya tidak, “dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. “a” artinya tidak, “dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. “adat” pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang tidak bersifat kebendaan.

Dalam pembahasannya dapat disimpulkan bahwa adat yang tidak memikirkan kebendaan lagi merupakan sebagai kelanjutan dari kesempurnaan hidup, dengan kekayaan melimpah-limpah, sampailah manusia kepada adat yang tidak lagi memikirkan hal-hal yang tidak bersifat kebendaan. Selagi benda masih dapat menguasai seseorang, ataupun seseorang masih dapat diperhamba benda disebut orang itu belum beradab. Kalau diperhatikan kedua pendapat diatas, maka pendapat yang teakhir lebih bersifat filosofis dan ini mungkin dikaitkan dengan pengaruh agama hindu yang datang kemudian ke Indonesia.

Walaupun kata adat dengan 'adat berlainan penafsiran dari arti yang terkandung pada kata tersebut namun keduanya ada kesamaan yaitu tujuannya sama-sama mengatur hidup dan kehidupan masyarakat agar menjadi baik.

Bagi orang Minangkabau sebelum masuknya pengaruh hindu dan islam, orang telah lama mengenal kata “buek”. Kata “buek” ini seperti ditemui dalam mamangan adat yang mengatakan kampuang bapaga buek, nagari bapaga undang (kampung berpagar buat, nagari berpagar undang). Buek inilah yang merupakan tuntunan bagi hidup dan kehidupan orang Minangkabau sebelum masuk pengaruh luar.

Oleh sebab itu masuknya perkataan adat dalam perbendaharaan bahasa Minangkabau tidak jadi persoalan karena hakekat dan maknanya sudah ada terlebih dahulu dalam diri masyarakat Minangkabau. Kata-kata “buek” menjadi tenggelam digantikan oleh kata adat seperti yang ditemui dalam ungkapan “minang babenteng adat, balando babenteng basi” (minang berbenteng adat, belanda berbenteng besi).

2. Pengertian Adat Secara Umum

Seperti dikatakan kata adat dalam masyarakat Minangkabau bukanlah kata-kata asing lagi, karena sudah merupakan ucapan sehari-hari. Namun demikian apakah dapat “adat” ini diidentikan dengan kebudayaan, untuk ini perlu dikaji terlebih dahulu bagaimana pandangan ahli antropologi mengenai hubungan adat kebudayaan ini.

Dalam ilmu kebudayaan dan kemasyarakatan konsep kebudayaan sangat banyak sekali. Inventarisasi yang dilakukan oleh C. Kluckhohn dan A. L Kroeber ahli atropologi pada tahun 1952 telah ditemukan lebih kurang 179 defenisi. Tetapi yang sifatnya dan banyak dipakai para ahli adalah pendapat C. Kluckhohn yang memberikan batasan kebudayaan sebagai berikut:

kebudayaan adalah keseluruhan dari gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang berupa satu sistem dalam rangka kehidupan masyarakat yang dibiasakan oleh manusia dengan belajar”.

Kata kebudayaan dalam istilah inggris adalah “culture” yang berasal dari bahasa latin “colere”yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah atau pertanian. Dari pengertian ini kemudian berkembang menjadi “culture”. Istilah “culture” sebagai istilah teknis dalam penulisan oleh ahli antropologi inggris yang bernama Edwar B. Tylor mengatakan bahwa “culture” berarti “complex whole of ideas and thinks produced by men in their historical experlence”. Sesudah itu pengertian kultur berkembang terus dikalangan antroplogi dunia. Sebagai istilah umum “culture” mempunyai arti, kesopanan, kebudayaan, pemeliharaan atau perkembangan dan pembiakan.

Bahasa Indonesia sendiri mempunyai istilah budaya yang hampir sama dengan culture, dengan arti kata, kata kebudayaan yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia bukanlah merupakan terjemahan dari kata “culture”. Kebudayaan berasal dari kata sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata budhi. Budhi berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kata buddhayah (budaya) yang mendapatkan awalan ke- dan akhiran –an, mempunyai arti “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Berdasarkan dari asal usul kata ini maka kebudayaan berarti hal-hal yang merupakan hasil dari akal manusia dan budinya. Hasil dari akal dan budi manusia itu berupa tiga wujud, yaitu wujud ideal, wujud kelakuan, dan wujud kebendaan.

Wujud ideal membentuk kompleks gagasan konsep dan fikiran manusia. Wujud kelakuan membentuak komplek aktifitas yang berpola. Sedangkan wujud kebendaan menghasilkan benda-benda kebudayaan. Wujud yang pertama disebut sistim kebudayaan. Wujud kedua dinamakan sistim sosial sedangkan ketiga disebut kebudayaan fisik.

Bertitik tolak dari konsep kebudayaan Koen Cakraningrat membicarakan kedudukan adat dalam konsepsi kebudayaan. Menurut tafsirannya adat merupakan perwujudan ideal dari kebudayaan. Ia menyebut adat selengkapnya sebagai adat tata kelakuan. Adat dibaginya atas empat tingkat, yaitu tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan tingkat aturan khusus. Adat yang berada pada tingkat nilai budaya bersifat sangat abstrak, ia merupakan ider-ide yang mengkonsesikan hal-hal yang paling berniali dalam kehidupan suatu masyarakat. Seperti nilai gotong royong dalam masyarakat Indonesia. Adat pada tingkat norma-norma merupakan nilai-nilai budaya yang telah terkait kepada peran-peran tertentu (roles), peran sebagai pemimpin, peran sebagai mamak, peran sebagai guru membawakan sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya dalam berbagai kedudukan tersebut.
Selanjutnya adat pada tingkat aturan-aturan yang mengatur kegiatan khusus yang jelas terbatas ruang lingkupnya pada sopan santun. Akhirnya adat pada tingkat hukum terdiri dari hukum tertulis dan hukum adat yang tidak tertulis.

Dari uraian-uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan merupakaan hasil dari budi daya atau akal manusia, baik yang berwujud moril maupun materil. Disamping itu adat sendiri dimaksudkan dalam konsep kebudayaan dengan kata lain adat berada dalam kebudayaan atau bahagian dari kebudayaan.

3. Pengertian Adat Dalam Adat Minangkabau

Bagi orang Minangkabau, adat itu justru merupakan “kebudayaan” secara keseluruhannya. Karena didalam fakta adat Minangkabau terdapat ketiga bagian kebudayaan yang telah dikemukakan oleh Koencaraningrat, yaitu adat dalam pengertian dalam bentuk kato, cupak, adat nan ampek dan lain-lain. Adat dalam pengertian tata kelakuan berupa cara pelaksanaannya sedangkan adat dalam pengertian fisik merupakan hasil pelaksanaannya. Malahan bila dibandingkan dengan pengertian culture yang berasal dari kata “colere”maka dapat dikatakan bahwa orang Minangkabau bukan bertitik tolak dari mengolah tanah melainkan lebih luas lagi yang diolah yaitu alam, seperti yang dikatakan : "alam takambang jadi guru” (alat terkembang jadikan guru).

Bertitik tolak dari nilai-nilai dasar orang Minangkabau yang dinyatakan dalam ungkapan “alam takambang jadikan guru” maka orang Minangkabau membuat katagori adat sebagai berikut:

a. Adat Nan Sabana Adat

b. Adat Istiadat

c. Adat Yang Diadatkan

d. Adat Yang Teradat

Sedangkan M. Rasyid Manggis Dt Rajo Penghulu memberi urutan yang berbeda seperti berikut:


1. Adat Nan Babuhua Mati, yakni
a. Adat Nan Sabana Adat
b. Adat Nan Diadatkan


2. Adat Nan Babuhua Sentak, yakni
c. Adat Nan Teradat
d. Adat Istiadat

Bila dikumpulkan literatur mengenai katagori adat ini sangat banyak sekali. Dari pendapat yang banyak sekali itu ada kesamaan dan ada perbedaannya. Kesamaannya hanya terlihat dalam “adat nan ampek” sedangkan penafsirannya terdapat perbedaan dan malahan urutannya juga. Menurut isinya serta urutannya paling umum adalah pendapat yang dikemukakan oleh M. Rasyid Manggis Dt Rajo Penghulu di atas.

Pengertian dari adat nan ampek di atas dapat dikemukakan sebagai berikut:


a. Adat Nan Sabana Adat

Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat) merupakan yang palingkuat (tinggi) dan bersifat umum sekali, yaitu nilai dasar yang berbentuk hukum alam. Kebenarannya bersifat mutlak seperti dikatakan : adat api mambaka, adat aia membasahi, tajam adatnyo melukoi, adat sakik diubeti. Ketentuan-ketentuan ini berlaku sepanjang masa tanpa terikat oleh waktu dan tempat.

b. Adat Nan Diadatkan

Adat nan diadatkan merupakan warisan budaya dari perumus adat Minangkabau yaitu Datuak. Katumanggungan dan Datauk Perpatih Nan Sabatang.

Adat nan diadatkan mengenai:

Peraturan hidup bermasyarakat orang Minangkabau secara umum dan sama berlaku dalam Luhak Nan Tigo sebagai contoh

1. Garis keturunan menurut ibu

2. Sistim perkawinan eksogami

3. Pewarisan sako dan pusako

4. Limbago nan sapuluah

5. Garis keturunan pewarisan sako dan pusako dan lain-lain.

c. Adat Nan Teradat

Adat Nan Teradat merupakan hasil kesepakatan penghulu-penghulu dalam satu-satu nagari. Di sini berlaku lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.

d. Adat Istiadat

Adat istiadat adalah kebiasaan umum yang berasal dari tiru-meniru dan tidak diberi kekuatan pengikat oleh penghulu-penghulu seperti permainan anak-anak muda seni dan lain-lain serta tidak bertentangan dengan adat nan teradat.

B. Pendapat-Pendapat Mengenai Nama Minangkabau

Pendapat-pendapat mengenai nama Minangkabau saat ini sangat banyak sekali. Pendapat-pendapat yang dikemukakan berasal dari orang-orang yang memiliki ilmu di bidang sejarah. Ada yang bersumber dari orang-orang yang sekedar pendapat tanpa argumentasi yang kuat, artinya tanpa didukung oleh nilai-nilai sejarah dan akibanya juga kurang didukung oleh masyarakat. Pendapat yang bersumber dari tambo pada umumnya didukung oleh masyarakat Minangkabau.


Dari keterangan-keterangan yang dikumpulkan ada dikemukakan sebagai berikut:


1. Prof. DR. RM. NG. Poerbacaraka:

Pendapatnya dikemukakan dalam sebuah karangan yang berjudul “Riwayat Indonesia” dalam tulisannya mengenai nama Minangkabau dikaitkan dengan prasasti yang terdapat di palembang yaitu Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini memuat sepuluh baris kalimat yang berangka tahun 605 (saka) atau 683 masehi. Batu bertulis ini telah diterjemahkannya ke dalam bahasa indonesia sebagai berikut:

Selamat tahun saka telah berjalan 605 tanggal ii
Paro terang bulan waisyakka yang dipertuan yang naik di
Perahu mengambil perjalanan suci. Pada tanggal 7 paro terang,
Bulan jyestha Yang Dipertuan Hyang berangkat dari Minanga
Tamwan membawa bala (tentara) dua puluh ribu dengan peti
Dua ratus sepuluh dua banyaknya tulisan
Dua ratus berjalan diperahu dengan jalan (darat) seribu
Tiga ratus sepuluh dua banyaknya. Datang di Matayap
Bersuka cita pada tanggal lima bulan…
Dengan mudah dan senang membuat kota…
Syri-wijaya (dari sebab dapat) menang (karena) perjalanan suci, (yang menyebabkan kemakmuran)

Kesimpulan dari isi prasasti ini adalah Yang Dipertuan Hyang berangkat kari Minanga Tamwan naik perahu membawa bala tentara. Sebagian melalui jalan darat. Menurut Poerbacaraka kata tamwan pada prasasti itu sama dengan bahasa jawa kuno yaitu “temwan”, bahasa jawa sekarang “temon”, bahasa indonesianya “pertemuan”. Pertemuan disini yaitu pertemuan dua buah sungai yang sama besarnya. Sungai yang dimaksud itu ialah sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Besar kemungkinan kemudian dinamakan Minanga Kamwar yaitu Minanga Kembar.

Bagi orang Sumatera Barat disebut Minanga Kanwa, yang lama kelamaan diucapkan Minangkabau. Juga dikemukakannya, bahwa dengan pertemuan kampar kiri dan kampar kanan disinilah terletak pusat agama Budha Mahayana, yaitu Muara Takus

2. M. Sa’id

Pendapat M. Sa’id bertitik tolak dari prasasti padang Roco tahun 1286, didekat sungai langsat, di hulu sungai Batang Hari. Pada prasasti ini ditemukan kata-kata swarna bumi dan bhumi melayu. Tidak satupun dari prasasti-prasasti yang ditemui yang berisikan kata-kata Minangkabau. Sedangkan tempat prasasti ditemukan termasuk daerah Minangkabau sekarang. Oleh sebab itu M. Sa’id berkeyakinan bahwa ketika ekspedisi pamalayu, nama Minangkabau belum ada.

Menurut penelitian ahli sejarah seperti M. Yamin, dan C.C Berg, ekspedisi Pamalayu bukanlah agresi militer, melainkan suatu muhibah diplomatik dalam usaha mengadakan aliansi untuk menghadapi Khubilai Khan. Itulah sebabnya prasasti Padang Roco isinya juga menunjukkan kegembiraan.

Tidak mustahil antara pihak tamu dengan tuan rumah diadakan pesta untuk menyenangkan hati kedua belah pihak. Pada peristiwa inilah salah satu acaranya diadakan arena pertarungan kerbau antara tuan rumah dengan pihak tamu. Rupanya kemenangan berada pada pihak tan rumah. Suatu pertanyaan timbul apakah ceritra-ceritra mengenai perlagaan kerbau yang kebanyakkan dianggap dongeng tidak mempunyai hubungan dengan kedatangan misi pamalayu ini. Menurut ukuran sekarang terlalu kecil peristiwa pertarungan kerbau ini untuk menguji kalah menang yang mempertaruhkan peristiwa dan status negara. Tetapi dari peristiwa ini nama Minangkabau lahir bukanlah mustahil.

3. Prof. Dr. Muhammad Hussein Nainar

Menurut keterangan, guru besar pada Universitas Madras ini, sebutan “Minangkabau” berasal dari “Menon Khabu” yang artinya “Tanah Pangkal” atau “Tanah Permai”.

4. Prof. Vander Tuuk

Menurut pendapatnya, bahwa Minangkabau asalnya dari kata “Pinang Khabu” yang artinya Tanah Asal.

5. Sulthan Muhammad Zain

Menurut pendapatnya, bahwa “Minangkabau” berasal dari “Binanga Kanvar” yang artinya Muara Kampar. Keterangan ini bertambah kuat oleh karena Chaw Yu Kua yang dalam abad ke 13 pernah datang berkunjung ke Muara Kampar menerangkan, bahwa disana didapatinya satu-satunya bandar yang paling permai di pusat sumatera.

6. Pendapat Tambo

Dari beberapa tambo yang ditemui seperti Tambo Pariangan dan Tambo Sawah Tangah yang tidak diketahui penulisannya, maupun tambo yang dikenal penulisannya, pada dasarnya mempunyai kesamaan sejarah lahirnya nama Minangkabau. Salah satu di antaranya transkipsi Tambo Pariangan nama Minangkabau diceritakannya sebagai berikut : :

“tidak berapa lama di antaranya datang lagi raja itu membawa seekor kerbau besar yang tanduknya sepanjang delapan depa. Maka raja itu bertaruh atau bertanding, seandainya kalah kerbau kami, maka ambilah isi perahu ini. Maka dijawablah oleh raja, kemudian minta janji selama tujuh hari. Keesokan harinya dicarilah seekor anak kerbau yang sedang erat menyusu, lalu dipisahkan dari induknya. Anak kerbau tadi dibuatkan tanduk dari besi, yang bercabang dua yang panjangnya enam depa. Setelah sampai janji itu maka dipasanglah tanduk palsu itu dikepala anak kerbau yang disangka induknya tadi. Melihat kerbau besar tersebut, maka berlarilah anak kerbau itu menuju kepada kerbau besar yang dipisahkan dari induknya sendiri untuk menyusu karena demikian haus dan laparnya. Lalu anak kerbau itu berbuat seperti menyusu sehingga tanduk palsunya masuk perut kerbau besar itu dan akhirnya iduk kerbau itu mati. Maka mufakatlah seluruh rakyat akan menamakan negeri itu Minangkabau".

Atas kemenangan pertarungan kerbau yang diungakpkan oleh tambo tersebut juga diungkapkan dalam bentuk talibunnya sebagai berikut:

Karano tanduak basi paruik tajalo
Mati di Padang Koto Ranah
Tuo jo Mudo sungguahpun heran
Datangnya indak karano diimbau
Dek karano Cadiak Niniak kito
Lantaran manyambuang di galanggang tanah
Dipadapek tuah kamujuran
Timbualah namo Minangkabau

(karena tanduk besi tanduk terjela, mati dipadang koto ranah, tua dengan muda sangat heran, datangnya karena tidak dihimbau, karena cerdik nenek kita lantaran menyambung digelanggang tanah, diperoleh tuah kemujuran timbulah nama Minangkabau).

Pendapat dari tambo ini merupakan pendapat yang umum Minangkabau. Walaupun banyak pendapat yang lain seperti yang telah dikemukakan di atas tetapi tidak didukung oleh orang Minangkabau sendiri. Lain halnya pendapat tambo yang beberapa hal sebagai berikut:

a. Arena Pertarungan

Sampai sekarang di arena tempat pertarungan kerbau tersebut masih diperoleh nama-nama tempat yang tidak berobah dari dahulu sampai sekarang. Nagari tempat pertarungan ini sekarang masih bernama nagari Minangkabau (lebih kurang 4 km dari kota batusangkar). Di nagari Minangkabau tempat gelanggang pertarungan kerbau ini sekarang masih tetap bernama Parak Bagak (kebun berani). Di tempat inilah kerbau yang kecil tersebut memperlihatkan keberaniannya. Disamping itu juga ada nama Sawah Siambek dimana kerbau yang kalah itu lari dan kemudian dihambat bersama-sama.

b. Pendapat yang dikemukakan tambo

Pendapat yang dikemukakan tambo didukung oleh masyarakat Minangkabau dari dahulu sampai sekarang dan tidak sama halnya dengan pendapat-pendapat lainnya.


c. Asal nama Minangkabau

karena menang kerbau juga ditemui dalam “Hikayat Raja - Raja Pasai” seperti yang dikemukakan oleh Drs. Zuber Usman dalam bukunya “Kesusasteraan Lama Indonesia”. Dalam buku hikayat raja-raja pasai itu dikemukakan raja majapahit telah menyuruh Patih Gajah Mada pergi menaklukkan Pulau Perca dengan membawa seekor kerbau keramat yang akan diadu dengan kerbau Patih Sewatang. Dalam pertarungan ini Patih Sewatang mencari anak kerbau yang sedang kuat menyusu. Setelah sekian lama tidak menyusu kepada induknya baru dibawa ke arena pertarungan. Karena haus dan kepalanya diberi minang (taji yang tajam), ketika pertarungan terjadi anak kerbau tersebut menyeruduk kerbau Majapahit tadi. Dalam pertarungan ini kerbau Patih Sewatang yang menang.

Berdasarkan kepada tambo mungkin ada yang bertanya mengapa tidak disebut manang kabau tetapi Minangkabau. Jawabnya karena kemenangan itu lantaran anak kerbau tadi memakai “minang” yaitu taji yang tajam dan runcing sehingga merobek perut lawannya.

Asal nama Minangkabau lantaran kemenangan seperti yang dikemukakan tambo juga ada pesan-pesan tersirat yang disampaikan kepada kita dan enerasi selanjutnya bahwa sifat diplomatis haruslah dipergunakan dalam menghadapi sesuatu masalah. Pertentangan fisik harus dihindarkan seandainya masih ada alternatif lainnya. Disamping itu juga secara tidak langsung memberi inspirasi kepada kita sekarang untuk meniru meneladani cara berbuat dan berfikir seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang Minangkabau pada masa dahulu. Dimana dibiasakan menggunakan otak sebelum menggunakan otot, diplomasi adalah langkah yang terbaik dalam menyelesaikan suatu pertikaian, dengan diplomasi musyawarah, berunding dan lain-lain, resiko yang lebih berat dapat dapat dihindari.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa nama Minangkabau yang bersumber dari kemenangan kerbau tidak diragukan lagi kebenarannya. Disamping itu juga dapat disimpulkan bahwa pemakaian nama Minangkabau dipergunakan untuk nama sebuah nagari dekat kota Batusangkar, untuk suku bangsa Minangkabau dan wilayah kebudayaan Minangkabau, nama Minangkabau yang berasal dari cerita adu kerbau inilah yang kita yakini kebenarannya. Sedangkan nama-nama yang dikemukakan oleh para ahli sejarah lainnya, kita terima juga sebagai pelengkap perbendaharaan kita dalam menggali sejarah Minangkabau selanjutnya.

BAB IV

RUMUSAN PENJABARAN DAN OPERASIONAL KOMPILASI HUKUM ADAT BASANDI SYARAK, SYARAK BASANDI KITABULLAH DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT ADAT MINANGKABAU, MERUPAKAN DASAR PENYUSUNAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH

DI PROPINSI SUMATERA BARAT

A. ABS_SBK

Hukum Adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah sesungguhnya yang menjalin hubungan dengan Allah Tuhan Yang Maha Esa, hubungan antara sesama manusia manusia, serta hubungan antar lingkungan dengan alam semesta sebagai ciptaan Allah Yang Maha Kuasa.

Inilah yang jadi ciri pertanda jati diri masyarakat adat Minangkabau, sebagai pandangan dunia dan pandangan hidup, yang dapat memberi arah dan pegangan perilaku serta perbuatan masyarakatnya.

Secara strategis hubungan itu sangat berperan sebagai pengembangan jati diri kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi ketika berhadapan dengan pengaruh budaya asing yang tidak selaras dengan falsafah hidup bernegara bangsa Indonesia, Pancasila.

Hubungan antar masyarakat adat Minangkabau sebagai bangsa Indonesia telah merajut jalinan kebudayaan bangsa Indonesia yang bhinneka bentuknya, sangat berperan guna pengembangan dan pembinaan identitas dan menjadi perekat kekuatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Adat bersendi syarak dan syarak bersendi Kitabullah (ABS-SBK) di Minangkabau telah menjadi rujukan dari etika bagi seluruh sistim masyarakat adat Minangkabau, seperti sistim social, sistim ekonomi, sistim politik, sistim hokum, sistim pendidikan, dan lain-lainnya guna meningkatkan kemampuan generasi bangsa dalam menyerap ilmu dan teknologi, dan memperkuat ketahanan nasional berasakan Pancasila, dan di dalam menyikapi kehidupan ekonomi, social dan politik Internasional.

Menghadapi hubungan dengan kebudayaan asing yang tidak terelakan itu, masyarakat adat Minangkabau dalam Provinsi Sumatera Barat, berupaya menyumbangkan nilai-nilai ajaran adatnya yang berfilosfi “Alam Takambang Jadikan Guru”, suatu konsep kemanusiaan yang egaliter sebagai pencerminan dari ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mereka anut.

B. Pengertiannya

Masyarakat Sumatera Barat sebagai masyarakat yang beradat dan beragama, meyakini bahwa Kebenaran Yang Benar, berada di Jalan Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Dengan itu pula, masyarakat adat Minangkabau melihat dirinya dan kiat melihat alam dan perubahan yang terjadi dengan penjiwaan egaliter, bahwa “jika bermain dengan alam, patah tumbuh hilang berganti, pusaka lama tidak berubah”, yang artinya setiap yang bersifat instrumental dapat berubah, namun yang fundamental tak terganti.

Filosofi “Alam Takambang Jadikan Guru”, adalah satu konsep pandangan dunia dan pandangan hidup yang dikotomis menurut alurnya yang harmonis, yang diterjemahkan berupa dinamika dalam sistem musyawarah dan mufakat berdasarkan alur dan patut, yaitu etika hukum yang layak dan benar.

Adat Bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah (ABS-SBK) Masyarakat Adat Minangkabau di Provinsi Sumatera Barat, mendorong terjaganya kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang dapat berperan aktif dalam perkembangan kebudayaan dunia yang maju. Selalu mengikut sertakan seluruh warga masyarakat sebagai satu mekanisme yang telah ditetapkan dan disepakati. Dalam hubungan kekuasaan pemerintahan, maka pemimpin dilihat sebagai “orang yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting”, karena dalam hubungan kepemimpinan alurnya adalah “kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu, penghulu beraja kepada muifakat, mufakat beraja kepada Yang Benar, Yang Benar berdiri sendirinya”.

Dalam mengayuh kehidupan social ekonomi, Masyarakat Adat Minangkabau dengan Adat Bersendi Syarak, dan Syarak Bersendi Kitabullah (ABS-SBK), mendorong pertumbuhan dan perkembangan semangat percaya diri yang egaliter untuk menghapus sikap feodalisme lama ataupun baru, dengan memacu peningkatan usaha dan pemilikan modal atas asas kebersamaan. Harapan ini akan diraih dengan upaya terus menerus meningkatkan kualitas generasi bangsa yang aktif, kreatif, mempunyai kemampuan adaptasi dalam perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi, serta sikap beridispiln bagi peningkatan etos kerja, memiliki keimanan yang kuat dan ibadah yang terjaga sebagai insan Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia.

Masyarakat di Provinsi Sumatera Barat, yang hidup dalam lingkungan Masyarakat Adat Minangkabau, menyadari bahwa nilai-nilai budaya daerahnya selalu akan berorientasi ke masa depan dengan nilai-nilai yang lebih baik.

Masyarakat Sumatera Barat, mesti mengarifi semua benturan budaya luar yang tidak jelas arahnya yang menyebabkan bangsa Indonesia pada umumnya, dan masyarakat Sumatera Barat yang beradat dan beragama pada khususnya, mengalami erosi nilai dan etika budaya bangsa, yang sangat berakibat kepada pencapaian masa depan yang lebih baik akan menempuh jalan yang lebih sulit dan rumit. Oleh karena itu diperlukan satu sikap dan keberanian moral dalam menetapkan garis kebijakan dan kebijaksanaan social politik dan kebudayaan dalam mengangkal terjadinya erosi nilai-nilai, etika berbangsa dan erosi kepercayaan dan keimanan itu.

C. Operasionalnya

Masyarakat Sumatera Barat dengan ABSSBK sangat potensial membentuk generasi Minangkabau yang maju di tengah kehidupan budaya modern. Falsafah Masyarakat Adat Minangkabau dengan ABS-SBK mengandung etika hokum yang rasional, seperti diungkapkan dalam kaedah adat Minangkabau “hukum adat bersendi syarak, adalah hukum bersendi kepada alur dan patut, serta patut yang mungkin, sesuai dengan yang ditetapkan oleh syarak mangato adat memakaikan”.

Terpateri nilai budaya yang egaliter, mengandung prinsip mengahargai orang lain dan lingkungannya, serta membangkitkan daya juang kompetitif tanpa merusak eksistensi diri dan lingkungannya. Sikap masyarakat yang kosmopolit selain mendorong tingkat mobilitasnya, dapat menerima perubahan tanpa kehilangan nilai budayanya yang esensial.

Dialektika alam telah mengajarkan untuk menerima perbedaan pendapat dan tingkat hidup manusia sesuai dengan kemampuan berfikir dan berusaha. Sikap hidup berdemokrasi dengan prinsip musyawarah di dalam bimbingan ABS-SBK di Minangkabau telah mengajarkan bahwa setiap manusia adalah substansi yang fungsional (‘ibadullah) menurut kodrat masing-masing. Setiap orang mempunyai hak-hak sesuai dengan harkatnya masing sebagai manusia yang sangat dihormati dan dilindungi.

BAB V

LINTASAN SEJARAH MINANGKABAU

I. Pengantar

Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.

Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas, Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang. Seperti umumnya kebudayaan megalit lainnya berawal dari zaman batu tua dan berkembang sampai ke zaman perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong. Megalit seperti yang terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga terdapat di Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu, Birma dan Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang sama pula.

Menurut para ahli bahwa pendukung kebudayaan Dongsong adalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi. Gelombang kedua datang kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.

Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh para ahli dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lain-lain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis dan lain-lain.

Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau adalah bangsa melayu muda dengan kebudayaan megalit yang mulai tersebar di Minangkabau kira-kira tahun 500 SM sampai abad pertama sebelum masehi yang dikatakan oleh Dr. Bernet Bronson. Jika pendapat ini kita hubungkan dengan apa yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau kemungkinan cerita Tambo itu ada juga kebenarannya.
Menurut sejarah Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja Macedonia antara tahun 336-323 s.m. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.

Tokoh Iskandar Zulkarnai dalam Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat diterima kebenarannya, karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di samping di dalam sejarah Melayu, Hikayat Aceh dan Bustanul Salatin Tokoh Iskandar Zulkarnain ini juga disebut-sebut, tetapi secara historis tetap saja merupakan seorang tokoh legendaris.

Sebaliknya tokoh Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh Tambo sebagai salah seorang anak Iskandar Zulkarnain, kemungkinan merupakan salah seorang Panglima Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan menguasai pulau emas (Sumatera), termasuk di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian menurunkan para penguasa di Minangkabau, jika kita tafsirkan apa yang dikatakan Tambo berikutnya. Sayangnya Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan peristiwa itu terjadi selain ”pada masa dahulunya” yang mempunyai banyak sekali penafsirannya.

Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau dari puncak gunung merapi. Hal ini tidak dapat diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi seperti kebiasaan orang Minangkabau sendiri harus dicari tafsirannya, karena orang Minangkabau selalu mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak langsung”. Tafsirannya kira-kira sebagai berikut: Sewaktu Maharajo Dirajo sedang berlayar menuju pulau emas dalam mengemban tugas yang diberikan oleh Iskandar Zulkarnain, pada suatu saat dia melihat daratan yang sangat kecil karena masih sangat jauh. Setelah sampai ke daratan tersebut ternyata sebuah gunung, yaitu gunung merapi yang sangat besar. Tetapi oleh pewaris Tambo kemudian gunung Merapi sangat kecil yang mula-mula kelihatan itulah yang dikatakan sebagai tanah asal orang Minangkabau. Selanjutnya cerita Tambo yang demikian, juga masih ada sampai sekarang pada zaman kita ini.

Ada baiknya kita kutip apa yang dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh Sang Guno Dirajo: ”...Dek lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang sagadang talua itiak, sadang dilamun-lamun ombak...” (sesudah lama berlayar akhirnya kelihatanlah pulau yang sangat kecil kira-kira sebesar telur itik yang kelihatan hanya timbul tenggelam sesuai denga turun naiknya ombak).

Selanjutnya dikatakan:”...Dek lamo - bakalamoan aia lauik basentak turun, nan gosong lah basentak naiak, kok dareklah sarupo paco, namun kaba nan bak kian, lorong kapado niniak kito, lah mendarek maso itu, iyo dipuncak gunuang marapi...” (karena sudah lama berlayar dan pasang sudah mulai surut, gosong yang kecil tadi makin besar, daratan yang kelihatan itu tak obahnya seperti perca, maka dinamakanlah daratan itu dengan pulau perca yang akhirnya didarati oleh nenek moyang kita yang mendarat kira-kira di gunung merapi).

Peristiwa inilah yang digambarkan oleh mamangan adat Minangkabau berbunyi “dari mano titiak palito, dari telong nan barapi, dari mano asal niniak kito, dari puncah gunuang marapi” (dari mana titik pelita dari telong yang berapi, dari mana datang nenek kita, dari puncak gunung merapi). Mamangan adat ini sampai sekarang masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau.

Bagi kita yang menarik dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya melainkan adalah cerita itu memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang orang Minangkabau asalnya datang dari laut, (dengan berlayar) yang waktunya sangat lama. Kedatangan nenek moyang inilah yang dapat disamakan dengan masuknya nenek moyang orang Minangkabau. Dengan demikian masuknya nenek moyang orang Minangkabau dapat diperkirakan waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima sebelum masehi dengan abad pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur kebudayaan megalit itu sendiri.

Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini, maka menurut Soekomo, tradisi Megalit pada mulanya merupakan batu yang dipergunakan sebagai lambang untuk memperingati seorang kepala suku. Sesudah kepala suku itu meninggal, akhirnya peringatan itu berubah menjadi penghormatan yang lambat laun menjadi tanda pemujaan kepada arwah nenek moyang.

Bagaimana dengan megalit yang terdapat di Minangkabau? Barangkali fungsi pemujaan terhadap arwah nenek moyang masih tetap berlanjut, seperti Menhir lainnya di Indonesia. Tetapi jika kita hubungkan Menhir itu dengan kehidupan orang Minangkabau yang berkaitan dengan Medan Nan Bapaneh, yaitu tempat duduk bermusyawarah dalam masyarakat Minangkabau sudah mulai berkembang pada zaman pra sejarah, khususnya di zaman berkembangnya tradisi menhir di Minangkabau dan keadaan ini sudah berlangsung semenjak sebelum abad masehi.

Dari peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemuka masyarakat sekarang di tempat-tempat menhir itu terdapat seperti di Sungai Belantik, Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang Japang, Limbanang, Talang Anau, Padang Kandih, Balubus, Koto Tangah, Simalanggang, Taeh Baruh, Talago, Ampang Gadang seperti yang dikatakan oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:
”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama ditetapkan atau dicari adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang. Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa mereka ke suatu tempat bermukim. Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak yang kemudian kita kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi, sebahagian menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang dan sebahagian tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama Medan nan Bapaneh”.

Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula masyarakat sudah hidup menetap dengan berburu dan pertanian sebagai mata pencaharian yang utama. Hal ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan Dongsong yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra sejarah Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut, barangkali akan ditemui peninggalan-peninggalan yang mendukung kehidupan berburu dan bertani tersebut.

Diwaktu itu sudah dapat diperkirakan bahwa antara Adat Nan Sabana Adat sudah hidup di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, mengingat akan ajaran adat Minangkabau itu sendiri, yaitu Alam Takambang jadikan guru. Sedangkan Adat Nan Sabana Adat berisi tentang hukum-hukum alam yang tidak berubah dari dahulu sampai sekarang seperti dikatakan: Adat api mambaka, adat aia mamabasahi, adat tajam malukoi, adat runciang mancucuak dan sebagainya (Adat api membakar, adat air membasahi, adat tajam melukai, adat runcing mencucuk).

Demikian juga dengan Adat Nan Diadatkan sudah ada waktu itu, yaitu sebagai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Barangkali di zaman inilah berlakunya apa yang dikenal dengan hukum adat yang bersifat zalim dan tidak boleh dibantah yaitu hukum adat yang bernama “Simumbang Jatuah” (simumbang jatuh), mumbang kalau jatuh tidak dapat dikembalikan ke tempatnya lagi. Selanjutnya juga ada hukum yang bernama “si gamak-gamak”, yaitu suatu aturan yang tidak dipikirkan masak-masak. Disamping itu juga terdapat hukum yang dinamakan “Si lamo-lamo” yaitu siapa kuat siapa di atas persis seperti hukum rimba.

Barangkali hukum yang dinamakan “Hukum Tariak Baleh” juga berlaku di zaman ini. Hukum Tariak Baleh hampir sama dengan hukum Kisas dalam agama Islam, misalnya orang yang membunuh harus di hukum bunuh pula.

Keempat macam hukum adat itu memang sesuai dengan zamannya dimana belum terlalu banyak pertimbangan terhadap suatu yang dihadapi dalam kehidupan. Sampai kapan berlakunya hukum ini mungkin berlangsung sampai masuknya agama Islam pertama ke Minangkabau kira-kira abad ketujuh.

Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan masuknya Islam ke Minangkabau, yaitu kira-kira abad ketujuh, dimana buat pertama kali di Sumatra Barat sudah didapati kelompok masyarakat Arab tahun 674. Kelompok masyarakat Arab ini sudah menganut agama Islam, bagaimanapun rendahnya pendidikan waktu itu, tentu sudah pandai tulis baca, karena ajaran Islam harus diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi yang semuanya sudah dituliskan dalam bahasa Arab. Dengan demikian diakhir bahagian ketiga abad ketujuh itu zaman purba Minangkabau sudah berakhir.

1. Zaman Mula Sejarah Minangkabau

Yang dimaksud dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang meliputi kurun waktu antara abad pertama Masehi dengan abad ketujuh. Dalam masa tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut, tetapi masa itu dilengkapi dengan adanya berita-berita tertulis tertua mengenai Minangkabau seperti istilah San-Fo Tsi dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai Tambesi yang terdapat di Jambi.

Di daerah Indonesia lainnya juga sudah terdapat berita atau tulisan seperti kerajaan Mulawarman di Kutai Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa Barat. Namun dari berita-berita itu belum banyak yang dapat kita ambil sebagai bahan untuk menyusun sebuah ceritera sejarah, karena memang masih sangat sedikit sekali dan masing-masingnya seakan-akan berdiri sendiri tanpa ada hubungan sama sekali. Untuk zaman ini Soekomono memberikan nama zaman Proto Sejarah Indonesia, yaitu peralihan dari zaman Prasejarah ke zaman sejarah.

Berita dai Tambo dan ceritera rakyat Minangkabau hanya mengemukakan secara semu mengenai hal ini, yaitu hanya menyebutkan tentang kehidupan orang Minangkabau zaman dahulu. Dalam hal ini Tambo mengemukakan sebagai berikut: ”...tak kalo maso dahulu...”...(Diwaktu zaman dahulu),. ”...dari tahun musim baganti, dek zaman tuka – batuka, dek lamo maso nan talampau, tahun jo musim nan balansuang...” (Karena tahun musim berganti, karena zaman bertukar-tukar, karena masa yang telah lewat, tahun dengan musim yang berlangsung),”... Antah barapo kalamonyo...”(entah berapa lamanya), dari ungkapan waktu yang demikian memang sulit sekali menentukan kapan terjadinya. Pengertian zaman dahulu itu saja sudah mengandung banyak kemungkinan tafsiran dan sangat relatif.

Barangkali kehidupan zaman mula sejarah Minangkabau ini hampir sama dengan kehidupan pada zaman Pra sejarahnya, hanya saja di akhir zaman mula sejarah ini agama Islam sudah masuk ke Minangkabau dan sudah ada berita-berita dari Cina. Dapat dikatakan, bahwa cerita sejarah untuk zaman mula sejarah Minangkabau ini sangat sedikit sekali, bahkan dapat dikatakan merupakan zaman yang paling gelap dalam sejarah Minangkabau. Demikian gelapnya untuk menghubungkan zaman Pra Sejarah dengan zaman sejarahnya kita tidak mempunyai sumber sama sekali, bukan lagi kabur, tetapi sudah gelap gulita.

2. Zaman Minangkabau Timur

Istilah ini dipinjam dari istilah yang dikemukakan oleh Drs. M. D. Mansoer dkk, dalam bukunya, Sejarah Minangkabau, dikatakannya Minangkabau mengalami dua periode, yaitu periode Minangkabau Timur yang berlangsung antara abad ketujuh sampai kira-kira tahun 1350 dan periode Minangkabau Pagaruyung antara tahun 1347-1809.

Dikatakannya, bahwa kerajaan-kerajaan lama, pusat perdagangan lada, pusat perekonomian, politik dan budaya yang pertama timbul dan berkembang di Minangkabau adalah di lembah aliran Batang Hari dan Sungai Dareh. Daerah itu berkembang pada abad ke tujuh sampai pertengahan abad keempat belas.

Secara geografis memang pantai timur pulau Sumatera lebih memungkinkan untuk dilayari oleh kapal-kapal dagang yang dapat berlayar sampai masuk jauh kepedalaman. Daerah pantai Sumatera Timur ini pulalah yangdahulu didatangi oleh nenek moyang orang Minangkabau yang berlayar sampai ke daerah Mahat di Kabupaten Lima Puluh Kota sebelah Utara. Pedagang-pedagang Islam yang mula-mula ke Minangkabau juga melalui daerah ini, sehingga perdagangan diwaktu periode Minangkabau ini menjadi sangat ramai sekali, bukan itu saja, Islam pertama pun masuk dari sini, baik yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Arab sendiri, maupun yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Persia, Hindustan, Cina, India dan lain-lain.

Pada permulaan abad Masehi perpindahan bangsa-bangsa dari utara ke selatan telah berakhir. Mereka telah menetap di sepanjang pantai kepulauan Nusantara. Setelah mereka menempati kepulauan Nusantara dan hidup secara terpisah, akhirnya karena lingkungan alam kehidupan bahasa yang mereka pergunakan pun mengalami perubahan seperti yang kita kenal sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau, Jawa, Bugis, Madura, Sunda, Bali dan lain-lain.
Pada zaman purbakala, di Asia terdapat dua jalan perdagangan yang ramai antara Barat dan Timur, yaitu melalui darat dan laut, jalan yang melalui darat disebut jalan Sutera, mulai dari daratan Cina melalui Asia Tengah sampai ke Laut Tengah. Perhubungan darat ini sudah mulai semenjak abad kelima sebelum Masehi. Waktu dimulainya perpindahan bangsa Melayu Muda ke arah selatan. Perhubungan darat ini terutama menghubungkan antara Cina dengan Benua Eropah (Romawi) diwaktu itu dibawah raja Iskandar Zulkarnain dan selanjutnya dengan menyinggahi daerah sepanjang perjalanan seperti India, Persia dan lain-lain.

Perhubungan laut ialah dari Cina dan Indonesia melalui selat Malaka terus ke Teluk Persia dan Laut Tengah. Perhubungan laut ini menjadi sangat ramai pada awal abad pertama Masehi, karena jalan darat mulai tidak aman lagi. Sejak waktu itulah daerah-daerah di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa menjadi daerah perhubungan antara perdagangan Arab, India dan Cina. Keadaan ini memungkinkan pedagang-pedagang Indonesia, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang Minangkabau ikut aktif berdagang.

Dengan aktifnya pedagang-pedagang Minangkabau dalam perdagangan dengan India, maka terbuka pulalah perhubungan antara kebudayaannya. Dari sini dapat kita lihat masuknya pengaruh Hindu ke Minangkabau melalui daerah pantai timur pulau Sumatera. Dalam abad kedua setelah Indonesia mempunyai perhubungan dengan India dan selama enam abad berturut-turut pengaruh Hindu di Indonesia besar sekali.

Jadi karena keadaan, pedagang-pedagang Minangkabau ikut terlibat dalam kancah lalu lintas perdagangan yang ramai di Asia. Keadaan itu pulalah yang menyebabkan Minangkabau di daerah aslinya sendiri yang jauh terletak di pedalaman.

Karena selat Malaka sangat ramai dilalui oleh kapal-kapal dagang dari Cina dan India maka salah satu bandar diselat itu bertumbuh dengan pesatnya sehingga akhirnya umbuh menjadi kerajaan Melayu. Kerajaan Melayu ini menurut para ahli berpusat di daerah Jambi yang sekarang dan diperkirakan berdirinya pada awal abad ketujuh Masehi. Nama Melayu pertama kalinya muncul dalam cerita Cina. Dalam buku Tseh Fu-ji Kwei diterangkan bahwa pada tahun 664 dan 665 kerajaan Melayu mengirimkan utusan kenegeri Cina untuk mempersembahkan hasilnya pada raja Cina. Pada waktu itu daerah Minangkabau merupakan daerah penghasil merica yang utama di dunia.

Rupanya Minangkabau Timur tidak lama memegang peranan dalam perdagangan di Selat Malaka, kareana sesudah muncul kerajaan Melayu dan kemudian sesudah kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan Sriwijaya, Minangkabau Timur menjadi bahagian dari kerajan Sriwijaya.

Dengan berdirinya kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya kelihatan peranan Minangkabau Timur tidak ada lagi, karena berita-berita dari Cina hanya ada menyebut tentang Melayu dan Sriwijaya saja.

Dalam satu buku yang disusun oleh It-Tsing dapat kita ketahui bahwa dalam tahun 690 Masehi, Sriwijaya meluaskan daerah kekuasaannya dan kerajaan Melayu dapat ditaklukannya sebelum tahun 692 Masehi.

Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai, negara perniagaan dan perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat. Selama lebih kurang enam abad kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan utama di daerah nusantara waktu itu. Namun sementara itu di Jawa mulai timbul kerajaan-kerajaan baru yang lama-kelamaan menjadi saingan utama dari kerajaan Sriwijawa dalam merebut hegemoni perdagangan di wilayah nusantara yang menyebabkan lemahnya Sriwijaya.

Dalam hal ini lawan kerajaan Sriwijaya yang utama adalah kerajaan Kediri di Jawa Timur dan Kerajaan Colamandala di India selatan. Dari kelemahan Sriwijaya itu, rupanya kerajaan Melayu dapat melepaskan diri dari Sriwijaya dan dapat memperkuat diri kembali dengan memindahkan ibu kota kerajaan ke daerah hulu Sungai Batang Hari. Kerajaannya dinamakan dengan Darmasraya. Hal ini dapat diketahui dari prasasti Padang Candi tahun 1286 yang terdapat di Sungai Langsat Si Guntur dekat Sungai Dareh dalam Propinsi Sumatera Barat sekarang.
Pada tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan Singosari (kerajaan yang menggantikan kekuasaan Kediri di Jawa Timur) mengirimkan suatu ekspedisi militer ke Sumatera dalam rangka melemahkan kekuasaan Sriwijaya dan memperluas pengaruhnya di Nusantara. Ekspedisi ini dikenal dalam sejarah Indonesia dengan nama ekspedisi Pamalayu.

Sebagai hasil dari ekspedisi itu, maka Kertanegara pada tahun 1286 mengirimkan acara Amogapasa ke Sumatera sebagai hadiah untuk raja dan rakyat kerajaan Melayu. Dengan kejadian ini dapat diartikan, bahwa semenjak peristiwa itu kerajaan Melayu sudah mengikuti kerajaan Singosari dan menjadi daerah tumpuan untuk menghadapi kemungkinan serangan dari negeri Cina akibat peristiwa penghinaan terhadap utusan Cina sebelumnya.

II. Maharajo Dirajo

Dalam hal ini timbul suatu kontradiksi keterangan-keterangan, yaitu nama Maharajo Dirajo sudah disebutkan sebelumnya sebagai salah seorang panglima Iskandar Zulkarnain yang tugaskan menguasai Pulau Emas. Kalau memang demikian keadaannya, lalu bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita bicarakan ini yang waktunya sudah sangat jauh berbeda.

Dalam hal ini kita tidak dapat memberikan jawaban yang pasti. Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan hanya merupakan perkiraan saja dan belum tentu benar. Tetapi berdasarkan logika berfikir kira-kira diwaktu itulah hidupnya Maharajo Dirajo jika dihubungkan dengan nama Iskandar Zulkarnain. Sedangkan Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan sekarang ini adalah seperti yang dikatakan Tambo Alam Minangkabau yang mana yang benar perlu penelitian lebih lanjut. Dalam kesempatan ini kita hanya ingin memperlihatkan betapa rawannya penafsiran dari data yang diberikan Tambo Alam Minangkabau.

Maharajo Dirajo yang sekarang dibicarakan adalah Maharajo Dirajo seperti yang dikatakan Tambo. Dalam hal ini kita ingin mengangkat data dari Tambo menjadi Fakta sejarah Minangkabau.

Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu Maharajo Alif, Maharajo Dipang, dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi), tetapi Josselin de Jong mengatakan, menjadi raja di Turki. Maharajo Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi raja di Pulau Emas (Sumatera).

Kalau kita melihat kalimat-kalimat Tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut: “...Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan sorang Maharajo Alif, nan pai ka banua Ruhun, nan sorang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan sorang Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko...” (pada masa dahulu kala, ada tiga orang yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke negeri Ruhun, yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina, dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau Sumatera).

Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya hanya dengan istilah “Masa dahulu kala” itulah yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama sekali, sedangkan waktu yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat banyak sekali dan tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan bertanya-tanya atau menduga-duga dengan tidak akan mendapat jawaban yang pasti. Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar, tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.

Percantuman raja Romawi dalam Tambo menurut hemat kita hanya usaha dari pembuat Tambo untuk menyetarakan kemasyhuran raja Minangkabau dengan nama raja di luar negeri yang memang sudah sangat terkenal di seantero penjuru dunia.

Dengan mensejajarkan kedudukan raja-raja Minangkabau dengan raja yang sangat terkenal itu maka pandangan rakyat Minangkabau terhadap rajanya sendiri akan semakin tinggi pula. Disini kita bertemu dengan satu kebiasaan dunia Timur untuk mendongengkan tuah kebesaran rajanya kepada anak cucunya.
Gelar Maharajo Dirajo sendiri terlepas ada tidaknya raja tersebut, menunjukan kebesaran kekuasaan rajanya, karena istilah itu berarti penguasa sekalian raja-raja yang tunduk di bawah kekuasaannya. Josselin de Jong mengatakan Lord of the Word atau Raja Dunia.

Dalam sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya menjadi milik orang Minangkabau saja, melainkan juga ada raja lain yang bergelar demikian seperti Karta Negara dari Singasari dengan gelar Maharaja Diraja seperti yang tertulis pada arca Amogapasa tahun 1286 sebagai atasan dari Darmasraya yang bernama raja Tribuana.

Tambo mengatakan bahwa Maharajo Dirajo adalah raja Minangkabau pertama. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Srimaharaja Diraja yang disebut dalam tambo sebagai raja Minangkabau yang pertama itu tidak lain dari Adityawarman sendiri yang menyebut dirinya dengan Maharaja Diraja. Tentang Adityawarman mempergunakan gelar Maharaja Diraja memang semua ahli sudah sependapat, karena Adityawarman sendiri telah menulis demikian dalam prasasti Pagaruyung.

Dari gelar Maharaja Diraja yang dipakai Adityawarman menunjukan kepada kita bahwa sewaktu Adityawarman berkuasa di Minangkabau tidak ada lagi kekuasaan lain yang ada di atasnya, atau dengan perkataan lain dapat dikatakan pada waktu itu Minangkabau sudah berdiri sendiri, tidak berada di bawah kekuasaan Majapahit atau sudah melepaskan diri dari Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah ahli waris dari Singasari. Sedangkan Singasari pernah menundukkan melayu Darmasraya, tentu berada di bawah kekuasaan Singasari – Majapahit itu, maka untuk melepaskan diri dari Singasari – Majapahit itu Adiyawarman memindahkan pusat kekuasaannya kepedalaman Minangkabau dan menyatakan tidak ada lagi yang berkuasa di atasnya dengan memakai gelar Maharaja Diraja.

Ada sesuatu pertanyaan kecil yang perlu dijawab, yaitu apakah tidak ada lagi kemungkinan bahwa gelar Maharajo Dirajo itu merupakan gelar keturunan bagi raja-raja Minangkabau, sehingga diwaktu Adityawarman menjadi raja di Minangkabau dia merasa perlu mempergunakan gelar tersebut agar dihormati oleh rakyat Minangkabau. Kalau memang demikian, maka kita akan dapat menghubungkannya dengan Maharajo Dirajo yang kita bicarakan kehidupannya sebelum abad Masehi. Tetapi hal ini kembali hanya berupa dugaan saja yang masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.

Kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja Diraja itu sama dengan Adityawarman, maka satu kepastian dapat dikatakan bahwa kerajaan Minangkabau baru bermula pad tahun 1347, yaitu pada waktu Adityawarman menjadi raja di Minangkabau yang berpusat di Pagaruyuang. Logikanya tentu sebelum Adityawarman, belum ada raja di Minangkabau, kalau ada baru merupakan daerah-daerahyang dikuasai oleh seorang kepala suku saja. Kalau pendapat itu tidak dapat diterima kebenarannya, maka tokoh Maharajo Dirajo yang disebut di dalam Tambo itu masih tetap merupakan seorang tokoh legendaris dalam sejarah Minangkabau dan hal ini akan tetap mengundang bermacam-macam pertanyaan yang pro dan kontra.

Kemungkinan gelar Maharajo sudah dipergunakan sebelum kedatangan Adityawarman memang ada. Tetapi apakah gelar itu merupakan gelar keturunan dari raja-raja Minangkabau masih belum lagi dapat diketahui dengan pasti. Yang jelas pada waktu sekarang ini, banyak gelar para penghulu di Sumatera Barat yang memakai gelar Maharajo sebagai gelar kepenghulunya disamping nama lainnya, seperti Dt. Maharajo, Dt. Marajo, Dt. Maharajo Basa, Dt. Maharajo Dirajo.

Kelihatan gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai gelar pusaka yang turun-menurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung sendiri tidak mempergunakan gelar tersebut sebagai pusaka kerajaannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gelar Maharajo Dirajo tersebut merupakan gelar pusaka Minangkabau dan sudah ada sebelum Adityawarman menjadi raja di Pagaruyung. Barangkali memang gelar itu diturunkan dari Maharajo dirajo seperti disebutkan dalam Tambo itu.

III. Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai Dan Indo Jati

Ketiga nama ini hanya terdapat dalam Tambo atau kaba yang banyak terdapat dalam masyarakat Sumatera Barat sekarang ini. Dari situlah bersumbernya ketiga nama tersebut, sedangkan sumber-sumber sejarah lainnya seperti prasasti dan tulisan lainnya tidak ada menyebut ketiga nama tersebut. Namun, sama halnya dengan nama Iskandar Zulkarnaen rakyat Sumatera Barat mempercayai ketiga nama tersebut sebagai cikal bakal orang Minangkabau.

Menurut Tambo Zuriat Sultan Iskandar Zulkarnaen, sewaktu Maharajo bertolak dari Tanah Basa, (India Selatan) memimpin satu rombongan yang terdiri dari: Suri Dirajo, Indo Jati, Cati bilang Pandai, dan beberapa rombongan dari Campa, Siam, Kambai dan lain-lain berlayar mengarungi lautan Indonesia lalu menetap ke gunung Merapi. P. E. Josselin de Jong juga menyebutkan nama Cati Bilang Pandai sebagai penasehat dari Maharajo.

Perlu dijelaskan bahwa nama Indo Jati sering disebutkan dengan sebutan yang berbeda, walaupun orangnya itu juga. Hamka menyebutkan dengan nama Indo Jelita atau dengan nama lain Ceti Reno Sudah. PE Josselin de Jong menyebut dengan nama Indo Calita. Sedangkan untuk kedua nama yang lain tidak ada perbedaan sebutan. Sekarang timbul pertanyaan: Apakah ketiga nama itu betul-betul merupakan nenek moyang orang Minangkabau di zaman dahulu dengan pengertian benar-benar ada dalam sejarah Minangkabau. Jawabannnya mudah saja, karena tidak ada bukti-bukti lain yang akan mendukung, maka secara historis ketiga tokoh ini hanya merupakan tokoh legendaris belaka dalam sejarah Minangkabau. Keberadaannya sebagai tokoh sejarah tidak dapat dibuktikan.

Namun demikian, hampir semua Tambo Minangkabau sependapat mengatakan bahwa Suri Dirajo dan Cati Bilang Pandai adalah tokoh yang melambangkan orang pandai, ahli pikir, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang kemasyarakatan. Segala sesuatu yang dikerjakan, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari salah seorang kedua tokoh itu, demikian besar pengaruhnya di samping Maharajo Dirajo sendiri.

Sedangkan menurut Hamka, tokoh Indo Jati yang disebutnya sebagai Indra Jati melambangkan sesuatu yang luhur asal-usulnya. Dalam kepercayaan Hindu nama Indra adalah nama seorang dewa yang merupakan salah seorang dewa utama Trimurti. Indra adalah salah satu penjelmaan Wisnu sebagai Dewa Matahari. Gelar dewa jelas menunjukkan seorang kesatria yang berdarah luhur. Jadi tokoh Indo Jati adalah salah seorang tokoh wanita kesatria dari rombongan Maharajo Dirajo.

IV. Datuk Ketumanggungan Dan Datuk Perpatih Nan Sabatang

Siapa tokoh ini?. Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris sejarah Minangkabau?. Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis sejarah Minangkabau yang benar-benar ada dan hidup dalam sejarah Minangkabau pada masa dahulu. Penjelasan berikut ini dapat menjawab beberapa pertanyaan itu.

Suku bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, mempercayai dengan penuh keyakinan, bahwa kedua orang tokoh itu merupakan pendiri Adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup subur di dalam masyarakat Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat sendiri maupun yang ada diperantauan.

Demikian kokohnya sendi-sendi kedua adat itu sehingga tidak dapat digoyahkan oleh bermacam-macam pengaruh dari luar, dengan pengertian akan segera mengadakan reaksi membalik apabila terjadi perbenturan terhadap unsur-unsur pokok adat itu. Hal ini telah dibuktikan oleh perputaran masa terhadap kedua adat itu.

Ada petunjuk bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah Minangkabau. Pitono mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada bagian belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu tokoh yang sama.

Dijelaskan selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan Perpatih sebagai salah seorang terkemuka dari raja Adityawarman yaitu salah seorang menterinya. Jadi tokoh Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di Padang Candi itu adalah sama dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.

Kalau pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa tokoh Datuk Perpatih Nan Sabatang itu adalah merupakan salah seorang tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis pada salah satu prasasti sebagai peninggalan sejarah yang nyata-nyata ada.

Bukti lain mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah Minangkabau adalah dengan adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Lima Kaum, Batusangkar. Dikatakan dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan antara Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk Perpatih Nan Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini sebagai peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari. Sebelum peristiwa ini terjadi antara kedua tokoh adat itu terjadi sedikit kesalah pahaman. Adanya Batu Batikam itu yang sampai sekarang masih terawat dengan baik, dan ini membuktikan kepada kita bahwa kedua tokoh itu memang ada dalam sejarah Minangkabau, bukan sekedar sebagai tokoh dongeng saja sebagaimana banyak ahli-ahli barat mengatakannya.

Bukti lain dalam hikayat raja-raja Pasai. Dikatakan bahwa dalam salah satu perundingan dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau adalah Datuk Perpatih Nan Sabantang tersebut. Hal ini membuktikan pula akan kehadiran tokoh itu dalam sejarah Minangkabau.

Di Negeri Sembilan, sebagai bekas daerah rantau Minangkabau seperti dikatakan Tambo, sampai sekarang juga dikenal Adat Perpatih. Malahan peraturan adat yang berlaku di rantau sama dengan peraturan adat yang berlaku di daerah asalnya. Hal ini juga merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan Sabantang dalam sejarah Minangkabau. Menurut pendiri adat Koto Piliang oleh Datuk Ketumanggungan dan Adat Budi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang.

Sesudah ternyata terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir dalam sejarah Minangkabau, maka ada hal sedikit yang kurang benar yang dikemukakan oleh Pinoto. Dia mengatakan bahwa kedua tokoh itu merupakan pembesar dengan kedudukan menteri dalam kerajaan Adiyawarman. Tetapi pencantuman kedua tokoh itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti bahwa menjadi menterinya, melainkan untuk menghormatinya, karena sebelum Adityawarman datang, kedua tokoh itu sudah ada di Minangkabau yang sangat dihormati oleh rakyatnya. Maka oleh Adityawarman untuk menghormati kedudukan kedua tokoh itu dicantumkan nama mereka pada prasastinya. Tidak sembarang orang yang dapat dicantumkan di dalam prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul sangat terhormat.

Walaupun Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan sudah merupakan tokoh historis dalam sejarah Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang dikemukakan, akan tetapi keduanya bukanlah merupakan raja Minangkabau, melainkan sebagai pemimpin masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup dalam masyarakat Minangkabau sekarang ini, yaitu adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago, bagi masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang sedemikian, jauh lebih tinggi martabatnya dari kedudukan seorang raja yang manapun.

Antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan adalah dua orang bersaudara satu Ibu berlainan Ayah. Karena ada sedikit perbedaan dari apa yang dikatakan Tambo mengenai siapa ayah dan ibu dari kedua orang itu, rasanya pada kesempatan ini tidak perlu dibicarakan perbedaan itu. Tetapi dari apa yang dikatakan itu dapat ditarik kesimpulan bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah suami pertama ibunya (Indo Jati). Berasal dari yang berdarah luhur atau dari keturunan raja-raja. Sedangkan ayah dari Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah Cati Bilang Pandai suami kedua ibunya yang berasal dari India Selatan juga. Perbedaan darah leluhur dari keduanya itu menyebabkan nantinya ada sedikit perbedaan dalam ajaran yang disusun mereka. Kesimpulannya adalah bahwa kedua orang itu yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang dianggap oleh kebanyakan penulis-penulis barat.

V. Masa Pemerintahan Adityawarman

Adityawarman bukan raja di Minangkabau, melainkan adalah raja di kerajaan Pagaruyung yang merupakan salah satu periode dari sejarah Minangkabau yang sangat panjang. Agar tidak mendatangkan keraguan kepada kita, maka kerajaan yang diperintahkan oleh Adityawarman kita namai kerajaan Pagaruyung saja.
Untuk mengetahui siapa sebenarnya Adityawarman, perlu kita tinjau kembali hasil dari ekspedisi Pamalayu oleh Kartanegara pada tahun 1275, bukan hasil secara keseluruhan melainkan hasil yang berhubungan dengan asal-usul Adityawarman saja.

Setelah ekspedisi itu berhasil, maka sewaktu rombongan ekspedisi kembali ke Jawa, mereka membawa Dara Jingga dan Dara Petak. Sesampai di Jawa kerajaan Singasari telah diganti oleh kerajaan Majapahit. Maka Dara Petak diambil sebagai selir oleh Raden Wijaya yang menjadi raja pertama kerajaan Majapahit. Dari perkawinan ini nanti akan melahirkan seorang putra yang pada waktunya akan menjadi raja di Majapahit. Puteranya tersebut bernama Jayanegara.

Dara Jingga kawin dengan salah seorang pembesar kerajaan Majapahit dan melahirkan seorang putera yang nama kecilnya. Aji Mantrolot. Aji Mantrolot ini yang kemudian dikenal sebagai Adityawarman. Dengan demikian Adityawarman merupakan keturunan dari dua darah kaum bangsawan, satu darah bangsawan Sumatera dan satu darah bangsawan Majapahit. Raja Majapahit yang kedua yaitu Jayanegara adalah saudara sepupu dari Adityawarman.

Mengenai asal-usul Adityawarman ini, Muhammad Yamin mengatakan bahwa Adityawarman berasal dari tanah Minangkabau di Pulau Sumatera. Tempat lahirnya terletak di Siguntur dekat nagari Sijunjung. Diwaktu muda dia berangkat ke Majapahit, tempat dia dididik disekeliling pusat pemerintahan dalam suasan keraton Majapahit. Kesempatan yang diperdapatnya itu berasal dari turunannya. Ayah bundanya mempunyai hubungan darah dengan permaisuri raja Majapahit yang pertama.

Pendapat Muhammad Yamin mengenai tempat kelahiran Adityawarman dan hubungan kekeluargaannya dengan Kerajaan Majapahit diperkuat oleh Pinoto yang mengatakan, bahwa Adityawarman adalah seorang putera Sumatera yang lahir di daerah aliran Sungai Kampar dan besar kemungkinan dalam tubuhnya mengalir darah Majapahit. Hubungan dengan kerajaan Majapahit bersifat geneologis dan politis.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Adityawarman dilahirkan di Kerajaan Melayu atau Minangkabau dan dibesarkan di Kerajaan Majapahit. Di keraton Majapahit Adityawarman di didik bersama saudara sepupunya Jayanegara yang kemudian menjadi raja Majapahit yang kedua. Di keraton Majapahit kedudukan Adityawarman sangat tinggi, yaitu berkedudukan sebagai salah seorang menteri atau perdana menteri yang diperolehnya bukan saja karena hubungan darahnya dengan raja Majapahit tetapi juga berkat kecakapannya sendiri. Tahun 1325 raja Jayanegara mengirim Adityawarman segbagai utusan ke negeri Cina yang berkedudukan sebagai duta. Bersama dengan Patih Gajah Mada, Adityawarman ikut memperluas wilayah kekuasaan Majapahit di Nusantara. Tahun 1331 Adityawarman memadamkan pemberontakan Sadeng dengan suatu perhitungan yang jitu. Tahun 1332 dia dikirim kembali menjadi utusan ke negeri Cina dengan kedudukan sebagai duta. Pada tahun 1334 Adityawarman pulang kembali ke negeri asalnya. Karena dengan lahir dan menjadi besarnya Hayam Wuruk tidak ada lagi kesempatan bagi Adityawarman utnuk menjujung mahkota kerajaan Majapahit sebagai ahli waris yang terdekat.

Adityawarman adalah cucu dari raja Melayu karena ibunya Dara Jingga adalah anak Tribuana raja Mauliwarmadewa, raja kerajaan Melayu. Oleh karena itu, Adityawarman berhak atas takhta kerajaan Melayu tersebut. Timbulnya keinginan Adityawarman untuk mendirikan kerajaan Melayu yang mandiri, disebabkan karena kegagalan usaha patih Gajah Mada menguasai selat malaka. Pada tahun 1347 Adityawarman menjadi raja kerajaan Melayu yang dipusatkan di Darmasraya. Hal ini dapat dibuktikan dengan prasasti yang dipahatkan pada bagian belakan arca Amogapasa dari Padang Candi. Dalam Prasasti itu Adityawarman memakai nama : “Udayadityawarman Pratakramarajendra Mauliwarmadewa” dan bergelar “Maharaja Diraja” dengan memakai gelar tersebut rupanya Adityawarman hendak menyatakan bahwa dia merupakan raja yang berdiri sendiri dan tidak ada lagi raja yang berada di atasnya. Dengan demikian dia sudah bebas dari Majapahit. Sebagai realisasi dari pernyataan tersebut, maka Adityawarman pada tahun 1349 memindahkan pusat kerajaan dari Darmasraya ke Pagaruyung di Batusangkar.

Selama pemerintahannya Adityawarman berusaha membawa kerajaan Pagaruyung ke puncak kejayaannya. Dalam usaha memajukan kerajaan itu Adityawarman mengadakan hubungan dengan luar negeri, yaitu dengan Cina. Tahun 1357, 1375, 1376 Adityawarman mengirim utusan ke negeri Cina. Selama masa pemerintahannya di Pagaruyung yang berlangsung dari tahun 1349 sampai 1376, kerajaan Pagaruyung berada di puncak kejayaannya. Bahkan dapat dikatakan pada waktu itu Indonesia bagian barat dikuasai kerajaan Pagaruyung dan Indonesia bagian Timur berada di bawah pengaruh kekuasaan Majapahit.

Adityawarman sebagai orang yang dididik dan dibesarkan di Majapahit serta telah pula pernah menjabat beberapa jabatan penting di kerajaan Majapahit, tentulah paham betul dengan seluk beluk pemerintahan di Majapahit. Dengan demikian corak pemerintahan kerajaan Majapahit sedikit banyaknya berpengaruh pada corak pemerintahan Adityawarman di Pagaruyung. Hal ini ternyata pada prasasti yang ditinggalkan Adityawarman terdapat nama Dewa Tuhan Perpatih dan Tumanggung yang oleh Pinoto dibaca Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan.

Menurut Tambo kekuasaan Adityawarman hanya terbatas di daerah Pagaruyung, sedangkan daerah lain di Minangkabau masih tetap berada dibawah pengawasan Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk ketumanggungan dengan pemerintahan adatnya. Dengan demikian di Pagaruyung Adityawarman dapat dianggap sebagai lambang kekuasaan saja, sedangkan kekuasaan sebenarnya tetap berada di tangan kedua tokoh pemimpin adat tersebut, sehingga hal ini menyebabkan kemudian pengaruh budha yang dibawa ke Pagaruyung tidak dapat tempat di hati rakyat Minangkabau, karena prinsipnya rakyat Minangkabau sendiri secara langsung tidak berkenalan dengan pengaruh-pengaruh tersebut. Disamping itu, selama menjadi raja Pagaruyung yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau tetap hukum Adat Koto Piliang dan Bodi Caniago. Dalam hal ini Tambo mengatakan bahwa Adityawarman walaupun sudah menjadi raja yang besar, tetap saja merupakan seorang sumando di Minangkabau, artinya kekuasaannya sangat terbatas.

Barangkali hal ini memang disengaja oleh Datuk yang berdua itu, mengingat pada mulanya kekuasaan Adityawarman yang sangat besar sekali. Agar kehidupan masyarakat Minangkabau jangan terpengaruh oleh kebiasaan yang dibawa oleh Adityawarman maka kedua Datuk itu memagarinya dengan pengaturan kekuasaan, Adityawarman boleh menjadi raja yang sangat besar, tetapi kekuasaannya hanya terbatas di sekitar istana saja, sedangkan kekuasaan langsung terhadap masyarakat tetap dipegang oleh mereka. Sesudah meninggalnya Adityawarman yang memang merupakan seorang raja yang besar dan kuat, kekuasaan kerajaan Pagaruyung mulai luntur. Kelihatannya dengan pengaturan yang dilakukan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang berdua dengan Datuk Ketumanggungan tidak memberi kesempatan kepada pengganti Adityawarman yang menganut agama budha untuk berkuasa seterusnya.

Adityawarman sebagai raja Pagaruyung merupakan seorang raja yang paling banyak meninggalkan prasasti. Hampir dua puluh buah prasasti yang ditinggalkannya. Diantaranya yang telah dibaca seperti Prasasti Arca Amogapasa, Kuburajo, Saruaso I dan II, Pagaruyung, Kapalo Bukit Gambak I dan II, Banda Bapahek, dan masih banyak lagi yang belum dapat dibaca.

Diantara yang telah dapat dibaca itu menyatakan kebesaran dan kemegahan kerajaan Pagaruyung, barangkali diantara raja-raja yang pernah ada di Indonesia tidak ada seorang pun yang pernah meninggalkan prasasti sebanyak yang telah ditinggalkan oleh Adityawarman. Sayangnya di Minangkabau kebiasaan seperti itu hanya dilakukan oleh Adityawarman seorang raja. Sebelum dan sesudahnya Adityawarman tidak ada yang membiasakan sehingga sampai sekarang kebanyakan data sejarah Minangkabau agak gelap

Sesudah Adityawarman meninggal kerajaan Pagaruyung yang tidak lagi mempunyai raja yang merupakan keturunan darah langsung dari Adityawarman. Sedangkan Ananggawarman yang dikatakan dalam salah satu prasasti Adityawarman sebagai anaknya tidak pernah memerintah, karena kekuasaan Adityawarman langsung digantikan oleh Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam. Dari sebutan raja itu saja, kelihatannya sesudah Adityawarman raja yang menggantikannya sudah menganut agama Islam. Adanya Sultan Bakilap Alam sebagai raja Minangkabau Pagaruyung dijelaskan oleh Tambo Minangkabau. Dengan sudah dianutnya agama Islam oleh pengganti Adityawarman, maka hilang pulalah pengaruh agama Budha yang dianut Adityawarman di Minangkabau.

Sampai dengan pertengahan abad ke-16 sesudah Adityawarman kita tidak memperoleh keterangan yang lengkap mengenai kerajaan Pagaruyung. Rupanya sesudah Adityawarman meninggal, kerajaan Majapahit kembali berusaha untuk menguasai Pagaruyung serata Selat Malaka. Tetapi usaha tersebut gagal kaena angkatan perang kerajaan Majapahit yang datang dari arah pantai timur dikalahkan oleh tentara Pagaruyung dalam pertempuran di Padang Sibusuk tahun 1409.

Akibat pertempuran Padang Sibusuk itu membawa akibat yang sangat besar dalam struktur pemerintahan kerajaan Pagaruyung selanjutnya. Semasa Adityawarman menjadi raja, pemerintahan bersifat sentralisasi menurut sistem di Majapahit. Tetapi sesudah pertempuran Padang Sibusuk itu, nagari-nagai di Minangkabau membebaskan diri dari kekuasaan yang berpusat di Pagaruyung.

VI. Kerajaan Pagaruyung Sesudah Adityawarman

Dari berita Tambo Pagaruyung dapat diketahui bagaiman keadaan Pagaruyung sesudah Adiyawarman demikian pula wawancara dengan S.M. Taufik Thaib SH. Dikatakan mengenai silisilah raja-raja Pagaruyung adalah sebagai berikut:

    1. Adityawarman (1339-1376)
    2. Ananggawarman (1376)
    3. Yang Dipertuan Sultan Bakilap Alam
    4. Yang Dipertuan Sultan Pasambahan
    5. Yang Dipertuan Sultan Alif gelar Khalifafullah
    6. Yang Dipertuan Sultan Barandangan
    7. Yang Dipertuan Sultan Patah (Sultan Muning II)
    8. Yang Dipertuan Sultan Muning III
    9. Yang Dipertuan Sultan Sembahwang
    10. Yang Dipertuan Sultan Bagagar Syah
    11. Yang Dipertuan Gadih Reni Sumpur 1912
    12. Yang Dipertuan Gadih Mudo (1912-1915)
    13. Sultan Ibrahim 1915-1943 gelar Tuanku Ketek
    14. Drs. Sultan Usman 1943 (Kepala Kaum Keluarga Raja Pagaruyung)

Dari data ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sesudah Adityawarman raja-raja di Pagaruyung sudah menganut agama Islam sesuai dengan sebutan Sultan (pengaruh Islam).

Bila Sultan Bakilap Alam memerintah tidak disebutkan oleh tambo tersebut, tetapi dapat diperkirakan sesudah tahun 1409, karena sampai 1409 pemerintahan Pagaruyung masih bersifat sentralisasi seperti sewaktu pemerintahan Adityawarman.

Sesudah tahun tersebut pemerintahan Pagaruyung sudah desentralisasi dengan pengertian bahwa nagari-nagari sudah mempunyai otonom penuh dan pemerintahan di Pagaruyung sudah mulai melemah.

Selanjutnya dikatakan bahwa di atas pemerintahan nagari-nagari terlihat adanya dua tingkat pemerintahan yaitu Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai. Rajo Tigo Selo dimaksudkan adalah tiga orang raja yang sekaligus berkuasa di bidang masing-masing. Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung sebagai pucuk pimpinan, Raja Adat berkedudukan di Buo yang melaksanakan tugas-tugas kerajaan dibidang adat. Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus dan melaksanakan urusan keagamaan kerajaan. Gambaran ini adalah lembaga pemerintahan di tingkat raja.

Sedangkan ditingkat Menteri dan Dewan Menteri yang dimaksud dengan Basa Ampek Balai terdiri dari:

1. Bandaro (Titah) di Sungai Tarab sebagai Perdana Menteri

2. Tuan Kadi di Padang Ganting yang mengurus masalah Agama

3. Indomo di Saruaso mengurus masalah keuangan

4. Makhudum di Sumanik yang mengurus masalah pertahanan dan rantau

Masyarakat nagari dalam mengusut persoalannya berjenjang naik sampai ketingkat kerajaan. Dibidang adat dari nagari terus ke Bandaro dan kalau tidak putus juga diteruskan lagi kepada Raja Buo dan kalau tidak putus juga masalahnya diteruskan lagi kepada Raja Alam di Pagaruyung yang akan memberikan kata putus. Begitu juga dalam bidang agama. Dari nagari naik kepada tuan Kadi di Padang Ganting, terus kepada raja Ibadat di Sumpur Kudus, dan bula tidak selesai juga akhirnya sampai kepada raja Alam yang akan memberikan kata putusnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa Lembaga Rajo Tigo Selo dibentuk bersama dengan pembentukan Lembaga Basa Ampek Balai. Penobatan dan pelatikan Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai bersamaan pula dengan pengangkatan dan pengiriman “Sultan Nan Salapan” ke daerah rantau Minangkabau yaitu daerah-daerah: Aceh, Palembang, Tambusai, Rao, Sungai Pagu, Bandar Sepuluh, Siak Indra Pura, Rembau Sri Menanti dan lain-lain. Pengangkatan dan pelantikan itu dilakukan oleh Sultan Bakilap Alam.

Dalam hal ini Bahar Dt Nagari Basa, mengatakan bahwa Basa Ampek Balai pada mulanya terdiri dari Bandaro di Sungai Tarap, yang menjadi Payung Panji Koto Piliang; Datuk Makhudum di Sumanik yang menjadi Pasak Kungkung Koto Piliang; Indomo di Saruaso yang menjadi Amban Puruak (bendahara) Koto Piliang; Tuan Gadang di Batipuah yang menjadi Harimau Campo Koto Piliang, yaitu Menteri Pertahanan Koto Piliang. Kemudian setelah Islam masuk ke Minangkabau dimasukkan Tuan Kadhi sebagai anggota Basa Ampek Balai dan “Tuan Gadang” di Batipuh ke luar dari keanggotaan itu dengan berdiri sendiri sebagai orang yang bertanggung jawab dalam masalah pertahanan Koto Piliang. Semuanya itu terdapat di Tanah Datar yang merupakan pucuk pimpinan di Minangkabau. Selanjutnya dikatakan yang menjadi kebesaran Luhak Agam adalah Parik Paga dan Kebesaran Lima Puluh Kota adalah Penghulu.

Dari keterangan itu yang dapat diambil kesimpulan bahwa Lembaga Basa Ampek Balai sudah ada sebelum Islam masuk ke Minangkabau dengan bukti seperti yang dikatakan oleh Datuk Nagari Basa dengan susunan yang sedikit berbeda dari apa yang kita kenal kemudian. Baru sesudah Islam masuk ke Minangkabau kedudukan Tuan Kadhi diserahkan untuk mengurus masalah agama Islam. Selanjutnya susunan Basa Ampek Balai dengan Tuan Gadang sudah seperti yang kita kenal sekarang ini.

Mengenai susunan pemerintahan Pagaruyung sesudah Adityawarman ini diuraikan dengan lengkap dalam cerita Cindua Mato. Cindua Mato (Candra Mata) adalah sebuah cerita rakyat Minangkabau yang menggambarkan tentang keadaan pemerintahan Minangkabau Pagaruyung di zaman kebesarannya. Walaupun dalam cerita ini mengenai raja-raja yang diceritakan sudah ada unsur legendanya, tetapi yang mengenai masalah lainnya sama dengan apa yang dikatakan Tambo.

Menurut Tambo, Basa Ampek Balai pernah memegang kedudukan Raja Alam yaitu sesudah Sultan Alif meninggal, karena orang yang akan menggantikan Sultan Alih masih belum dewasa. Buat sementara dipegang oleh Basa Ampek Balai.

VII. Kedatangan Bangsa Barat Ke Minangkabau

Hubungan Minangkabau dengan bangsa Barat yang pertama kali dilakukan dengan bangsa Portugis. Menurut berita Portugis, permulaan abad ke 16 ada utusan kerajaan Melayu yang datang ke Malaka. Kedatangan utusan tersebut adalah untuk membicarakan masalah perdagangan dengan bangsa Portugis yang waktu itu menguasai Malaka. Tetapi dengan berhasilnya Aceh menguasai pesisir barat pulau Sumatera, maka hubungan dagang dengan Portugis itu terputus.

Dengan bangsa Belanda hubungan Minangkabau terjadi pertama kali kira-kira tahun 1600, diwaktu Pieter Both memerintahkan Laksamana Muda Van Gaedenn membeli lada ke pantai barat pulau Sumatera. Waktu itu beberapa pelabuhan yang ada disana menolak permintaan Belanda dibawah kekuasaan Kerajaan Aceh.
Pada waktu Sultan Iskandar Muda dari kerajaan Aceh meninggal dunia, maka kekuasaan kerajaan Aceh menjadi lemah, sehingga mulai tahun 1636 sewaktu Iskandar Muda meninggal dunia, daerah-daerah Pesisir Barat kerajaan Pagaruyung mulai membebaskan diri dari kekuasaan Aceh dan melakukan hubungan dagang langsung dengan Belanda, seperti yang dilakukan oleh raja-raja Batang Kapas, Salido, Bayang di Pesisir Selatan.

Pada tahun 1641 Belanda merebut Malaka dari Portugis dan semenjak itu Belanda mulai memperbesar pengaruhnya di pesisir barat Sumatera untuk menggantikan kerajaan Aceh. Mula-mula Belanda mendirikan kantor dagangnya di Inderapura terus ke Salido. Kemudian di Pulau Cingkuak juga didirikan lojinya pada tahun 1664 untuk mengatasi perlawanan rakyat pesisir yang dikoordinir oleh Aceh.

Untuk melepaskan pesisir barat pulau Sumatera dari pengaruh Aceh, maka Belanda melakukan perjanjian dengan raja Pagaruyung yang merupakan pemilik sesungguhnya dari daerah tersebut. Oleh raja Pagaruyung Belanda diberikan kebebasan untuk mengatur perdagangannya pada daerah tersebut. Perjanjian itu dilakukan pihak Belanda dengan Sultan Ahmad Syah pada tahun 1668.

Mulai saat itu Belanda, melangkah selangkah demi selangkah menanamkan pengaruhnya di Sumatera Barat dengan jalan politik pecah belahnya yang terkenal itu. Disatu pihak mereka menimbulkan perlawanan rakyatnya terhadap raja atau pemimpinnya sesudah itu mereka datang sebagai juru selamat dengan mendapat imbalan yang sangat merugikan pihak Minangkabau, sehingga akhirnya seluruh Minangkabau dapat dikuasai Belanda.

Semenjak abad ke 17 terjadi persaingan dagang yang sangat memuncak antara bangsa Belanda dengan bangsa Inggris di Indonesia. Pada tahun 1684 Belanda dapat mengusir Inggris berdagang di Banten. Sebaliknya Inggris masih dapat bertahan di daerah Maluku dan menguasai perdagangan di daerah pesisir Sumatera Bagian Barat. Pada tahun 1786 berhasil menguasai pulau Penang di Selat Malaka sehingga mereka dapat mengontrol jalan dagang diseluruh pulau Sumatera. Sumatera mulai dibanjri oleh barang-barang dagang Inggris. Tentu saja hal ini sangat merugikan pihak Belanda.

Tahun 1780-1784 pecah perang antara Inggris dan Belanda di Eropa. Peperangan ini merambat pula sampai ke daerah-daerah koloni yang mereka kuasai di seberang lautan. Pada tahun 1781 Inggris menyerang kedudukan Belanda di Padang dari pusat kedudukannya di Bengkulu, dan Padang serta benteng Belanda di Pulau Cingkuak di hancurkan.

Dengan demikian pusat perdagangan berpindah ke Bengkulu. Setelah terjadi perjanjian antara kerajaan Belanda dengan kerajaan Inggris maka Inggris terpaksa mengembalikan seluruh daerah yang sudah direbutnya.

Bangsa Prancis yang pernah datang ke Sumatera Barat, yaitu ketika bajak laut yang dipimpin oleh Kapten Le Me dengan anak buahnya mendarat di Pantai Air Manis Padang. Hal ini terjadi pada tahun 1793. mereka dapat merebut Kota Padang dan mendudukinya selama lima hari. Setelah mereka merampok kota, mereka pergi lagi. Pada tahun 1795 Inggris merebut Padang lagi, karena terlibat perang lagi dengan Belanda.

VIII. Pembaharuan oleh Agama Islam

Seperti yang telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa pada pertengahan abad ke tujuh agama Islam sudah mulai memasuki Minangkabau. Namun pada waktu itu perkembangan Islam di Minangkabau masih boleh dikatakan merupakan usaha yang kebetulan saja, karena adanya pedagang-pedagang yang beragama Islam datang ke Minangkabau. Pengaruh Islam pun hanya terbatas pada daerah-daerah yang didatangi oleh pedagang-pedagang Islam, yaitu di sekitar kota-kota dagang di pantai Timur Sumatera.

Masuknya agama Islam itu ada yang secara langsung dibawa oleh pedagang Arab dan ada yang dibawa oleh Pedagang India atau lainnya, artinya tidak langsung datang dari negeri Arab. Perkembangan yang demikian berlangsung agak lama juga, karena terbentur kepentingan perkembangan Politik Cina dan Agama Budha.
Di kerajaan Pagaruyung sampai dengan berkuasanya Adityawarman, agama yang dianut adalah agama Budha sekte Baiwara dan pengaruh agama Budha ini berkisar di sekitar lingkungan istana raja saja. Tidak ada bukti-bukti yang menyatakan kepada kita bahwa rakyat Minangkabau juga menganut agama tersebut.

Secara teratur agama Islam pada akhir abad ke tiga belas yang datang dari Aceh. Pada waktu itu daerah-daerah pesisir barat pulau Sumatera dikuasai oleh kerajaan Aceh yang telah menganut agama Islam. Pedagang Islam sambil berdagang sekaligus mereka langsung menyiarkan agama Islam kepada setiap langganannya. Dari daerah pesisir ini, yaitu daerah-daerah seperti Tiku, Pariaman, Air Bangis dan lain-lain dan kemudian masuk daerah perdalaman Minangkabau. Masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadai secara damai dan nampaknya agama Islam lebih cepat menyesuaikan diri dengan anak nagari. Barangkali itulah sebabnya bekas-bekas peninggalan Hindu dan Budha tidak banyak kita jumpai di Minangkabau, karena agama itu tidak sampai masuk ketengah-tengah masyarakat, tetapi hanya disekitar istana saja. Habis orang-orang istana itu, maka habis pulalah bekas-bekas pengaruh Hindu dan Budha.

Perkembangan agama Islam menjadi sangat pesat setelah di Aceh diperintah oleh Sultan Alaudin Riayat Syah Al Kahar (1537-1568 ), karena Sultan tersebut berhasil meluaskan wilayahnya hampir ke seluruh pantai barat Sumatera.

Pada permulaan abad ketujuh belas, seorang ulama dari golongan Sufi penganut Tarikat Naksabandiyah mengunjungi Pariaman dan Aceh. Kemudian beberapa lama menetap di Luhuk Agam dan Lima Puluh Kota. Juga dalam ke abad ke-17 itu di Ulakan Pariaman bermukim seorang ulama Islam yang bernama Syeh Burhanuddin, murid dari Syeh Abdurauf yang berasal dari Aceh. Syeh Burhanuddin adalah penganut Tarikat Syatariah.

Murid-murid Syeh Burhanuddin itulah yang menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau dan mendirikan pusat pengajian di Pamansiangan Luhak Agam. Sebaliknya ulama-ulama dari Luhak Agam ini pergi memperdalam ilmunya ke Ulakan Pariaman, yaitu tempat yang dianggap sebagai pusat penyebaran dan penyiaran Islam di Minangkabau. Dari Luhak Agam inilah nanti lahir ulama-ulama besar yang akan membangun agama Islam selanjutnya di Minangkabau seperti Tuanku Nan Tuo dari daerah Cangkiang Batu Taba Ampek Angkek Agam. Tuanku Imam Bonjol sendiri merupakan salah seorang murid Tuanku Nan Renceh Kamang Mudiak Agam.

Pada awalnya agama Islam di Minangkabau tidak dijalankan secara ketat, karena disamping melaksanakan agama Islam para penganut juga masih menjalankan praktek-praktek adat yang pada dasarnya bertentangan dengan ajaran agama Islam itu sendiri.

Keadaan ini ternyata kemudian setelah datangnya beberapa orang ulama Islam dari Mekkah yang menganut paham Wahabi. Yaitu suatu paham dimana penganut-penganutnya melaksanakan ajaran Islam secara murni. Di tanah Arab sendiri tujuan gerakan kaum Wahabi adalah utnuk membersihkan Islam dari Anasir-anasir bid’ah. Kaum Wahabi menganut Mazhab Hambali dan bertujuan kembali kepada pelaksanaan Islam berdasarkan Qur'an dan Hadist.

Pada waktu beberapa ulama di Minangkabau, seperti Tuanku Pamansiangan, Tuanku Nan Tuo di Cangkiang, Tuanku Nan Renceh dan lain-lain juga sudah melihat ketidak beresan dalam pelaksanaan praktek ajaran Islam di Minagkabau dan ingin melakukan pembersihan terhadap hal tersebut, tetapi mereka belum menemukan bagaimana caranya yang baik. Baru pada tahun 1803 dengan kembalinya tiga orang haji dari Mekkah, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang, sesudah mereka itu menceritakan bagaimana yang dilakukan oleh gerakan Wahabi disana (di Makkah).

Untuk melaksanakan pembersihan terhadap ajaran agama Islam itu Tuanku Nan Renceh membentuk suatu badan yang dinamakan “Harimau Nan Salapan” terdiri dari delapan orang tuanku yang terkenal pada waktu itu di Minangkabau. Diakhir tahun 1803 mereka memproklamirkan berdirinya gerakan Paderi dan mulai saat itu mereka melancarkan gerakan permurnian agama Islam di Minangkabau.
Mula-mula Paderi memulai gerakan pembersihannya di daerah Luhak Agam yang tidak terlalu lama telah mereka kuasai, dengan berpusat di Kamang Mudik. Selanjutnya gerakan Paderi melancarkan kegiatannya ke daerah Lima Puluh Kota dan di daerah ini mereka mendapat sambutan yang baik dari rakyat Lima Puluh Kota.

Gerakan kaum paderi baru mendapat perlawanan yang berat dalam usahanya di Luhak Tanah Datar, karena pada waktu itu Luhak Tanah Datar masih merupakan pusat kerajaan Pagaruyung yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan tertentu secara tradisional. Tetapi berkat kegigihan para pejuiang paderi akhirnya daerah Luhak Tanah Datar dapat juga diperbaharui ajaran Islam nya berdasarkan Qur'an dan Hadist, selanjutnya gerakan kaum paderi mulai meluas ke daerah rantau.

Pada waktu itu di daerah Pasaman muncul seorang ulama besar yang membawa rakyatnya ke arah pembaharuan pelaksanaan ajaran Islam sesuai dengan Alquran dan Hadist Nabi. Karena gerakannya berpusat di Benteng Bonjol maka ulama tersebut akhirnya terkenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol, yang semulanya terkenal dengan nama Ahmad Sahab Peto Syarif.

Setelah di daerah Minangkabau dapat diperbaharaui ajaran Islamnya oleh kaum paderi, maka gerakan selanjutnya menuju keluar daerah Minangkabau, yaitu ke daerah Tapanuli Selatan yang akhirnya juga dapat dikuasai dan menyebarkan ajaran Islam di sana.

Setelah Tuanku Nan Renceh meninggal tahun 1820, maka pimpinan gerakan paderi diserahkan kepada Tuanku Imam Bonjol dan diwaktu itu gerakan paderi sudah dihadapkan kepada kekuasaan Belanda yang semenjak tahun 1819 sudah menerima kembali daerah Minangkabau dari tangan Inggris.

Karena terjadinya perbenturan kedua kekuatan di Minangkabau yaitu antara kekuatan paderi di satu pihak yang berusaha dengan sekuat tenaga menyebarkan agama Islam secara murni dengan kekuatan Belanda di lain pihak yang ingin meluaskan pengaruhnya di Minangkabau maka terjadilah ketegangan antara kedua kekuatan itu dan akhirnya terjadi perang antara kaum paderi dengan Belanda di Minangkabau. Perang ini terjadi antara tahun 1821-1833. pada akhirnya rakyat Minangkabau melihat bahwa kekuatan Belanda tidak hanya ditujukan kepada gerakan kaum paderi saja, maka pada tahun 1833 rakyat Minangkabau secara keseluruhannya juga mengangkat senjata melawan pihak Belanda. Perang ini berlangsung sampai tahun 1837.

Tetapi karena kecurangan dan kelicikan yang dilakukan pihak Belanda akhirnya peperangan itu dapat dimenangkan Belanda, dalam arti kata semenjak tahun 1837 itu seluruh daerah Minangkabau jatuh ke bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Dari masa inilah Minangkabau di rundung duka yang dalam, karena menjadi anak jajahan Belanda. Tuanku Imam ditangkap Belanda dengan tipu muslihat, dikatakan untuk berunding tetapi nyatanya Belanda menangkap beliau, dibuang semula ke Betawi, tinggal di Kampung Bali, selanjutnya dipindahkan ke Menado. Ditempat yang sangat jauh dari kampung halaman, badan yang telah sangat tua itu akhirnya dihentikan Tuhan Dari penderitaan yang berat, berpulanglah seorang Patriot Islam Minangkabau dirantau orang.

Beliau telah berjuang sekuat tenaga menegakkan Syiar Islam di Ranah Minangkabau tercinta ini, jasatnya terbujur disebuah desa kecil yang sepi bernama “Lotak” nun jauh diujung pulau Selebes, harapannya kepada kita semua anak Minangkabau, lanjutkan perjuangan beliau dengan menegakkan akidah Islam dalam kehidupan sehari-hari, jawabnya barangkali yang paling tepat bagi kita sekarang, “Mari kita berbenar-benar menegakkan Adat Basandi Syarak-syarak Basandi Kitabullah” dalam kehidupan kita.

BAB VI

SYARAK MANGATO ADAT MAMAKAI

Islam mambebaskan adat berkembang silahkan bermusyawarah carilah kebenaran, ciptakanlah undang-undang susunlah peraturan dan bueklah apo sajo nan katuju asalkan indak bertentangan dengan hukum Allah. "Antum A'lamu binduniakum" kamu lebih mengetahui tentang dunia dan dunia kamu (Hadits Riwayat Muslim). Rumusan Syarak mangato Adat mamakai lah buliah dikatokan tahap final kemudian di pertegas lagi dengan Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah. sebagai deklarasi alim ulama dan cadiak pandai, nan basidang di Luhak nan Tigo pado wakatu itu pasca perang Paderi. Deklarasi itu terkenal dengan Piagam Bukik Marapalam ikolah proses Islamisaasi di Minangkabau, tapi alun nan tarakhir sebab kini dan sampai nanti upaya menselaraskan adat dengan syarak masih akan tetap berlanjut.

Banyak bangkalai nan sudah, banyak nan kakuak ka timbua akibaik tunggua nan bataruah, salibu nan babungo, praktek dagang gadai nan mandatangkan manfaat materi bagi nan bapiutang, bukankah itu riba, upacara kematian manigo hari, maujuah hari maampek pulauh hari, bansangkuikkan dengan aqidah bukan kok bid'ah? maarak tabuik di Pariaman nan dihiduikkan dengan alasan pariwisata, bukanlah proyek yang mubazir? "Al mubaziru ikhwal syaithan" perbuatan mubazir adalah teman setan. Sabuang ayam dimusnahkan, kabau di Koto Baru bukan koh arena perjudian, padahal perjudian di haramkan, banyak,, masih banyak prilaku adat nan musti di luruihkan sajajar jo hukum syarak itulah nan tabangkalai itulah PR urang Minang dari ganarasi ka ganarasi, sampai tibo di sasaran akhir, yaitu muslim nan Istiqamah nan konsekwen dalam manjalankan falsafah ajaran Islam. Semoga Allah meridhoi sagaalo usaha dalam merealisir Syarak mangato adat mamaka. Insya Allah.. Angku-angku saudaro pembaca, itu sajolah nan dapek ambo sampaikan dalam tulisan adat nanko, mudah-mudahan bamanfaat bagi penulis nan manyampaikan, dan baguno bagi Masyarakaiak minang pado umumnyo.. Intansyuyurullah wayan syurukum wassalamui'alaikum warah matullahi wabarakatuh...

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Aq juga seorang keturunan minangkabau, papaku berasal dari desa sarik (bukittinggi).meski lahir dan besar di jakarta tetapi pengaruh keluarga besar papa banyak mendominasi. kebiasaannya, petuahnya dan adat serta tradisi. seiring dengan semakin dewasanya usia, saya baru menyadari bahwasanya peraturan adat minangkabaw banyak yang menyimpang dari ajaran agama Islam yang sesungguhnya. padahal masyarakatnya terlihat sangat religius. banyak mesjid dan surau di seluruh plosok desa, dan di atas gunung tetapi pelaksanaannya NOL BESAR.
Seorang sepupu pernah berkata pada saya,jika papamu meninggaldunia, kami berhak atas semua harta peninggalannya, sedang kamu tidak. karena ibumu bukan seorang minang.
Dan yang lainnya berkata : namaku, rita sikumbang binti zunaida. zunaida itu nama ibunya. kenapa bukan nama ayahnya, dia menjawab bahwa karena dia adalah seorang minang.
Dalam adat minang, seorang lelaki memiliki tanggungjawab yang besar yang diemban dipundaknya,tapi sedikit hak yang didapatnya mesi dalam al qur'an dialah yang mendapatkan hak waris. Bahkan dia diharuskan bertanggung jawab terhadap keponakannya (dari mulai bayi hingga mereka menikah.)yang seharusnya menjadi tanggung jawab ayah kandungnya. Dimata saya, sepupu saya yang minang beserta keluarganya adalah benalu, benalu yang tercipta dari tradisi dan adat yang kolot dan egois. Selalu membangggakan ninik mamak dan putri bungsu. ketika saya bertemu dengan teman2 yang seadat, mereka membenarkan hal itu dan itupun terjadi pada mereka. Sejak itu saya mendapatkan penilaian sendiri ttg adat istiadat minangkabau. Saya tidak menyesal berdarah minang, tetapi saya tidak akan menjalankan adat dan tradisi minang kawabau diatas Alquran. Alquran dan sunah adalah jalan dan pedoman hidup seorang muslim darimanapun ida berasal. dan akan dipertanggungjawabkan di barzah dan akhirat. sedangkan Adat dan istiadat Tidak. Nini mamak juga tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatan mereka yang kita tiru. akhir kata, meski masih bayak lagi yang akan saya sampaikan disini tujuan saya hanya satu yaitu, Untuk semua masyarakat minang junjunglah lebih tinggi dan jalankanlah syariat agama berdasarkan alquran dan sunah dari pada adat istiadat. Hal itu akan lebih baik buat keberadaan kita didunia.
Terimakasih.